Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #40

Dari si Kacamata - Tanpamu

Malam telah sepenuhnya datang, dan si gadis pun memahami demikian. Buku tebal di hadapannya lantas ditutup, diikuti oleh lampu belajar yang dimatikan. Si gadis merapatkan punggung ke sandaran, membuat erangan kecil sembari mengangkat kedua tangan ke udara, menemani suara derit lemah yang dihasilkan kursinya. Secara resmi, sesi bacanya hari ini usai sudah. Bukan karena waktu yang telah ditentu, tetapi lebih ke dirinya yang merasa cukup begitu.

Kacamata yang selalu menghiasi muka dilepasnya sesaat demi mengusap mata. Setelah kembali membuka mata dan menempatkan kembali aksesori, jam di samping layar PC diliriknya. Baru sekitar lima belas menit berlalu sejak pukul delapan. Masih ada sedikit waktu untuk melakukan sesuatu, juga, dirinya belum mau tidur dulu. Lagipula, memang ada yang ingin dilakukannya sebelum itu.

Buku tadi dibawanya ke rak yang membentuk lengkungan mengikuti dinding ruangan. Di tempatkannya ia di slot kosong sembarang. Kemudian, ia mendudukkan diri di salah satu sofa di tengah ruangan. Menyandar santai, mendongakkan kepala, membiarkan kacamatanya terangkat seakan hendak lepas, layaknya pikiran yang juga akan terbang bebas.

*~*~*~*

Awalnya kusangka tak apa, bersendiri menyusuri jalan mimpi. Tak payah menjadi seperti Kakek atau pun Ayahanda, yang sukses meniti setapak kehidupan dengan pendamping mereka. Benar, kupikir tak perlu benar-benar menjadi layaknya kedua sosok pamongku itu.

Namun, diriku pun masih muda. Ilmu yang kutimbun masih tak kuasa mengurai untaian benang yang tak nampak menjalar di semesta. Ini ‘kah yang dinamakan kodrat? Sementara, lebih bagus kubilang begitu.

Di hari diriku pertama menatapmu, hari yang sama di mana ku mendengar ujaranmu, juga di hari yang sama ku mengintip sedikit paradigma budimu. Tak bisa memungkiri, ku jadi terpaut padamu.

Sapaan pertama kita berakhir pelarianmu. Tetapi seiring diriku memberi seikhlas senyum, tanpa disadari, kau senantiasa masuk dalam pandangku. Seiring waktu, dirimu yang menukas tuk menjauh, berakhir tanpa daya mengusir hadirku. Sungguh, perputaran meja yang dibenakku terasa lucu.

*~*~*~*

Imajinya beterbangan di dalam ruangan itu. Ia bak mendapati peri kecil terbang berputar-putar di sana, naik-turun, ke kanan-kiri, kemudian berhenti di satu titik, menggemakan tawa dulu.

Tanpa si gadis sadari, tawa itu tak berasal dari peri khayalannya. Melainkan, dari dirinya sendiri yang terkikih sampai menutup kedua mata menutup rapat. Kepalanya diberdirikan kembali seperti semula. Dengan satu sentuhan membetulkan posisi kacamata, lalu kembali tertawa. Si gadis tidak salah lagi sedang dalam masa-masa bahagia.

Kemudian tiba-tiba, ketukan di pintu terdengar. Merasa tak payah menoleh—sebab tahu siapa di balik pintu itu—si gadis berkacamata berdiri seketika. Berjalan tanpa suara menuju pintu, lantas membukanya.

Seorang pembantu wanita datang membawa nampan, di atasnya ada sebuah mangkuk kecil berbahan kaca dan sendok. “Camilan malam Anda, Nona,” ujar si wanita, diikuti balasan “terima kasih” dari si gadis yang menerima hantaran di tangannya. Si pembantu wanita langsung undur diri, sementara si gadis menutup pintu, masuk ke kamar.

Inilah yang hendak dilakukan. Menyantap hidangan larut malam terlebih dahulu sebelum terlelap hingga pagi menjelang. Tidak ada kekhawatiran akan kesehatan atau tumpukan lemak di masa depan, sebab santapannya selalu dipastikan yang sehat pun memuaskan. Sesuatu yang cukup menyenangkan lidah dan menjaga asupan kalorinya yang terbilang besar sebab banyak kegiatan.

Lihat selengkapnya