Garis putih itu menyala. Berpendar, menyilaukan pandanganku yang sedang dalam ruangan gelap tanpa cahaya. Garis itu bermula dari titikku berdiri saat ini, memanjang, menjauh hingga terpecah jadi cabang di titik lainnya sana. Apa ... apa-apaan ini?
“Saku.”
Namaku terpanggil. Pikiranku yang sebelumnya terasa memudar, terpencar di ruangan gelap ini mulai terpusat kembali. Aku menatap lurus ke depan, ke arah panggilan itu datang.
Di sana, tepat di atas percabangan sana, tampak seseorang. Ujung kakinya yang bersepatu itu terlihat melayang, tidak menyentuh apa-apa di bawahnya. Dari rok, kemeja putih, hingga dasi yang melengkapi tampilannya itu dapat kupastikan, yang dipakainya adalah seragam sekolahku. Dan di antara rambut yang menyentuh batas bahu itu, terdapat wajah yang familier, tersenyum ringan sembari menatapku.
“Saki?” celetukku.
Aku lantas melangkah maju. Didorong oleh keterkejutan dan rasa tidak menyangka, aku melangkah agak tergesa-gesa. Ingin sekali rasanya aku mencapai percabangan garis bercahaya itu dan berbicara padanya. Itu karena ... karena tidak disangka aku bisa mendapat kesempatan seperti ini.
“Saki!”
“Perhatikan langkahmu ketika berjalan, Saku!”
Tegurannya menghentikan langkahku. Tidak banyak lagi jarak yang terpaut di antara kami, namun aku seperti tidak punya pilihan selain diam di tempat.
“Saki! Apa menurutmu aku sudah melakukan yang terbaik?! Untuk Shiki? Untuk dirimu sendiri?!”
Aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar. Seruan berisi tanya itu terlontar begitu saja dari mulutku, bahkan ketika aku merasa tidak menggerakkan bibir sama sekali. Seruan yang tidak menggema, membuatku tak yakin apakah suara itu benar-benar dapat didengar atau tidak di ruangan gelap ini.
“Saku, dengarkan aku!”
Mendengar seruan baliknya, aku diam. Rasanya seperti kehilangan kuasa untuk bicara sepenuhnya. Entah sejak kapan aku sudah berdiri tegak lagi sekarang. Menatap lurus pada gadis yang harusnya sudah mati di hadapanku itu.
“Banyak yang bilang kalau kita mati nanti, kita akan tahu kebenaran dari semua pilihan kita semasa hidup. Mungkin itu benar, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Juga, itu hanya berlaku untuk diri sendiri. Makanya, Saku, maaf aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”
Tiba-tiba, tubuh gadis itu memudar. Terpecah menjadi bagian-bagian kecil bercahaya mulai dari kakinya. Bagai daun momiji yang tertiup angin, tubuhnya semakin cepat terpecah. Kendati demikian, aku tidak bergerak. Tidak bisa bergerak, dan tidak bisa berbicara apa-apa.
“Ingat ini, ya! Telitilah untuk setiap jalan yang akan kauambil. Juga, jangan sampai kau memusuhi kematian. Terima saja nanti saat waktunya tiba.”
Tepat setelah kalimat itu selesai, wujud Saki menghilang sepenuhnya. Garis putih bercahaya di bawah kakiku pun ikut meredup pendarannya. Perlahan menghilang, seperti obat nyamuk yang terbakar habis di malam musim panas. Semuanya, sepenuhnya gelap sekarang.
Aku kehilangan sensasi pijakan. Walaupun begitu, aku tidak merasakan kejatuhan. Saat ini, aku cuma ... melayang saja. Di dalam kegelapan, seperti tanpa massa, persis layaknya berada di angkasa luar.
Tiada cahaya, entah dari mentari atau bulan. Tiada juga gemerlap bintang. Tidak ada yang dapat kulihat di sini, makanya tanpa sadar kupejamkan mata. Kegelapan semakin sempurna. Pekat menerkam keseluruhan. Tetapi, mungkin ini yang kubutuhkan ... untuk dapat terlelap di dalam kedamaian.
***
“Saki!”
Seruan itu, adalah milikku. Keluar begitu keras dalam kepanikan. Diwarnai waswas serta risau tanpa alasan yang jelas. Bersamaan dengannya, kelopak mataku bagai dibuka paksa oleh bola-bola manik di dalamnya.
“Kreator!”
Sebelah tanganku terjulur ke depan. Berusaha menggapai sesuatu yang antara ada dan tiada di penangkapan indera. Ia bergetar. Bergejolak kencang seperti diguncang seseorang. Napasku jadi memburu. Pandangan yang tadinya fokus pun balik memudar, berbarengan dengan leher yang goyah.
“Kreator!”
Suara itu ... dia memanggilku beberapa kali. Suara yang familier di telinga. Aku ... mengetahuinya. Tapi, kenapa begitu keras? Kenapa begitu berisik? Biar kata telingaku sedang berdengung saat ini, suara itu terasa mengganggu sekali.
“Kreator!!”
Panggilan terakhir terasa paling keras. Bagai raksasa mengentakkan kaki ke tanah. Palu yang menghantam lonceng. Menyadarkan dan memusatkan akal siapapun yang mendengarnya.