Pertama kali aku masuk ke kamar ini adalah setahun yang lalu. Ketika aku datang untuk berbicara pada Shiki, dan sejak saat itu, tidak ada interior yang berubah. Menurut Kacamata, yang kutempati sekarang ini bukanlah kamar yang sama dengan yang ditempati Shiki dulu. Tapi, semua sama saja.
Lampu kamar sudah dihidupkan. Aku bisa memastikan secara lengkap bentukan kamar ini. Benar-benar persis dengan yang kulihat pertama dulu. Ah, ya, kecuali gorden yang malam ini ditutup secara keseluruhan.
Selain itu, tampak juga lebih banyak plester luka membalut jari-jemari dan punggung tangan. Susah payah aku coba bangkit dari tempat tidur, memaksa raga ringkih ini bergerak sekadar buat duduk di tepian ranjang. Aku penasaran. Ingin memastikan tampilan tubuh ini selain rasa sakit yang terus bergema. Dan ya, biru lebam di beberapa titik di lengan, badan, hingga kaki. Ini ... Ibu pasti akan panik kalau melihatku begini.
Kacamata kembali membawa sepiring kudapan dan dua mug yang mengepulkan uap dalam nampan. Ditaruhnya nampan di atas meja. Menyerahkan satu mug padaku, dan memastikan bahwa tangan-tangan penuh luka ini kuat menahan beban sebelum melepaskan gagangnya. Baru kemudian dia mengambil jatahnya sendiri.
Pelan-pelan kudekatkan mug ke mulut. Tanganku entah kenapa langsung bergetar. Selemah inikah diri ini? Setidaknya, aku masih yakin mug tidak akan jatuh semudah itu.
Kuhirup dulu uapnya. Menikmati aroma dari cokelat panas yang mengepul di udara, serta memastikan seberapa panas minuman ini. Kacamata pun melakukan hal yang sama. Kami duduk saling berhadapan saat ini.
Kuputuskan untuk meniup dulu beberapa kali, berharap panasnya agak mereda. Tapi karena tidak sabar, kupaksa menyeruput juga akhirnya. Tentu, cokelat ini enak. Sangat enak. Tapi sebagian lidahku harus terkorbankan sebab kecerobohan tak bisa menilai suhu minuman. Si Kacamata cuma terkikih melihatku kebakaran lidah.
Ya. Tidak apa-apa. Meski lidahku kepanasan pun, meski harus ditertawai oleh gadis ini pun, tidak apa-apa. Ini adalah kedamaian. Kutaruh mug di meja dulu, mengalihkan kedua tangan sebagai penopang di sisi badan, lalu menghirup napas buat penenangan diri. Ya. Ini adalah kedamaian. Akan tetapi ...
—Apakah aku pantas untuk kedamaian ini?
...
“Kreator,” panggil Kacamata mengalihkan perhatianku. “Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu, tapi sebelum itu, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“I-Iya, silakan saja.”
“Kenapa tadi kau menyerukan nama Saki-san?” Selepas menanyakan itu, Kacamata menyesap lagi cokelat panasnya.
“Ah, itu.” Argh, akhirnya Kacamata membahasnya. Ini memalukan sekali. Bagian Saki-nya bukan masalah sih, tapi, terbangun sambil meneriakkan nama seseorang itu ... Ah, sudahlah. “Aku ... bertemu dengannya di mimpi.”
“Bertemu, ‘kah?” Kacamata tampak tertarik.
“Ya. Rasanya ... dia seperti memberitahuku sesuatu, semacam pesan atau nasihat, begitu. Tapi aku tidak bisa mengingat apa yang dikatakannya.”
“Memberi nasihat, kah? Saki-san memang begitu, ya. Sehabis hilang hayat pun, masih berusaha membantu insan lain.”
Kami jadi termenung sebentar berkat ucapan Kacamata, yang mengingatkan kami kembali pada sosok yang belum lama pergi itu. Kendati mungkin kenanganku bersama Saki tidak sedalam Kacamata, atau sahabat dan pacarnya, aku tetap bisa merasa. Sedih dan rindu, juga kaget yang kalau diingat masih terasa sampai saat ini. Lagipula, di antara semua kenalanku, hanya Saki yang kutahu mati dengan raut begitu tenang.
“Baiklah, mari kita kesampingkan Saki-san dulu.” Kacamata meletakkan mugnya di atas meja. Membenarkan posisi tesmaknya sesaat, seperti memberi isyarat bahwa yang akan dibicarakannya ini adalah pokok utama.