“Cara penyelesaian masalah yang kaupikirkan itu, aku tidak menerimanya,” ujar Kacamata sebal. Jujur saja aku kerap bertentangan pendapat dengan gadis ini, tapi rasanya baru kali ini, dia mencoba menegasi dengan ekspresi kekanakan itu.
“Kenapa?” tanyaku, mencoba memastikan.
“Ada tiga alasan. Yang pertama adalah, walau kau menjauhi diriku pun, tidak ada dasar yang dapat memastikan Kaname-san menghentikan tindakannya ini. Kita masih belum memastikan apakah alasan utamanya adalah apa yang kausebutkan tadi, ataukah ada alasan lain seperti ‘dia memang berengsek dari sananya’.”
“Tapi, kemungkinan cara ini berhasil juga ada, ‘kan? Kalau hanya dengan ini orang itu bisa menjadi sedikit lebih tenang, maka aku tidak bisa acuh tak acuh pada kemungkinan itu begitu saja.”
“Tetap saja, itu tidak bisa dipastikan. Tidak ada bukti, baik untuk argumenmu maupun argumenku. Selama kita belum memahami sepenuhnya maksud Kaname-san, pembicaraan ini cuma bakal jadi debat kusir. Tapi setidaknya, aku punya tambahan untuk membuatmu berpikir lagi.”
“Hah?”
“Dirimu pernah bilang untuk menyelesaikan masalah ini sampai ke akarnya, ‘kan, Kreator? Menghilangkan sebab Kaname-san melakukan perundungan. Ingatlah untuk siapa. Untuk orang lain juga. Supaya ketika kau terlepas dari Kaname-san, orang lain tidak menjadi korban berikutnya. Apa kau berniat menyerah soal itu?”
Hmmm. Ya, aku benar-benar berpikir sekarang. Salah satu tujuan idealistikku dibawa buat melawan diriku sendiri? Sungguh ironi. Tapi, memang kenyataannya begitu.
Malam ini, aku diberi pelajaran bahwa idealisme sangatlah mahal. Mungkin karena itu ada orang yang menyebutnya sebagai kemewahan, karena memang harganya pasti sangat tinggi, sepadan dengan kilauan yang dipendarkannya. Sebuah kilauan, yang kelihatannya aku belum berani membayarnya.
“Kemudian, alasan kedua.” Kacamata melanjutkan paparannya, mungkin tersadar kalau aku tidak bisa menjawab apa-apa untuk yang tadi. “Kau punya janji padaku. Janji yang kauucapkan di Okinawa, janji untuk membantuku mencapai tujuanku. Kalau kau menjauhiku, mana bisa kau memberi bantuan saat diriku membutuhkan?”
Ah, ya, janji itu. Janji yang terucap karena ketidaksengajaan kalau tidak salah. Saat itu hampir tengah malam, dan aku sedang mencoba tidur, dan kata-kata itu meluncur begitu saja. Bah, aku bilang begini bakal cuma jadi alasan, ya.
“Jangan bilang kau berniat mengingkarinya, Kreator.”
“Tidak, bukan begitu ....”
“Meski kau tidak bermaksud, pada prakteknya nanti pasti akan jadi begitu. Anggap saja Kaname-san memang menyukaiku dan kau memutuskan untuk sungguh-sungguh menjauh. Kau pasti tidak akan cuma menjauh secara fisik. Untuk totalitas, kau pasti akan menjauhkan juga hatimu dariku. Itu adalah saat di mana kau ingkar.”
“Kacamata, ketahuilah. Aku tidak bisa mengulurkan tangan pada orang lain sementara diriku berada dalam posisi terancam sendiri.”
“Benar, Kreator. Tak apa, pola pikirmu itu rasional. Itulah kenapa, aku mengajakmu berpikir sekali lagi.”
“Eh?”
Kacamata mengangkat wajahnya. Mendongakkannya hingga mata kami kembali bertemu lagi. Kami saling bertatapan beberapa saat, hingga akhirnya dia melanjutkan pembicaraan.
“Kemudian alasan yang ketiga ...” Kacamata memutar tubuhnya. Membawa hadapan wajahnya ke arahku, dan mengambil posisi bersimpuh di tepian ranjang. Satu tangan terjulur di sprei, dan satunya lagi bertindak sebagai bantalan kepala. “ ... Aku tidak ingin menjauh darimu.”
“Kacamata?”