Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #44

Parabellum - Power

Untuk perdamaian yang kudambakan, katanya?

Aku tahu. Karena masalah yang membelit saat ini, aku jadi berpikir untuk mendapatkan kembali kedamaian. Tapi setelah dikatakan begitu, aku jadi berpikir lagi. Sebenarnya, kedamaian apa, damai yang macam mana spesifiknya yang kuinginkan.

Melihat kata damai itu sendiri, artinya adalah situasi tenteram, aman, tidak ada musuh atau kerusuhan. Jadi, yang kuinginkan adalah hilangnya musuh? Sebelum itu, apakah aku menganggap Kurogane Kaname sebagai musuhku saat ini? Ya, aku sempat mendapat pemikiran itu. Anggapan bahwa Kurogane Kaname hanyalah sosok yang terlahir ke dunia untuk jadi perwujudan kejahatan itu sendiri, dan tanpa arti hidup lain.

Dia memang memukulku dengan keras beberapa kali, ditambah beberapa serangan dari kroninya juga. Tapi, entah kenapa, aku merasa bahwa apa yang dilakukannya itu sebetulnya tidak berasal dari dirinya sendiri. Pikiranku selalu lari, lompat, terbang ke belakang tembok anggapan medioker itu dan mencari sulur-sulur lainnya. Nuraniku mengatakan, Kurogane juga merupakan korban dari sesuatu. Korban dari bentukan masyarakat saat ini. Karena pada hakikatnya, manusia, tidak ada yang terlahir ke dunia sebagai penjahat dari sananya.

Tapi setelah itu, lantas apa? Setelah sampai pada probabilitas itu, atau bahkan mungkin setelah mengonfirmasi hal itu, apa yang bisa kuperbuat? Apa yang bisa kulakukan selain jadi samsak pelampiasan?

Yang mana pun itu, sekali lagi, apa yang terjadi malam ini memang menunjukkan jalan damai sangat sulit untuk ditempuh sebagai penyelesaian masalah. Pilihan untuk menjauh tadi pun, seperti yang dikatakan Kacamata, mulai terasa tidak meyakinkan bagiku.

Haduh~

Putaran logika di otak kuturunkan kecepatannya. Agaknya kalau terus dipaksa berputar, tekanannya akan menyebabkan pembuluh darah di kepalaku melebar dan membuat luka sekali lagi mengucurkan darah segar.

Kali ini tangan kiriku yang bergerak. Berusaha meraih beberapa benda di atas meja, dimulai dari arloji milik si Kacamata. Jarum panjang baru menunjuk ke angka dua, baru sepuluh menit berlalu selepas dirinya tertidur, ya.

Berikutnya, kucomot sepotong kukis dari piring. Kukis cokelat, dengan taburan choco chips di sana-sini, persis seperti yang kumakan di kafe, yang mana Kacamata menyeretku ke sana waktu Valentine dulu. Hm, ya, manis dan renyah ini otomatis mengembalikan mood dan tenagaku, selayaknya cokelat cair panas tadi. Macam apapun sajiannya, aku suka sekali cokelat.

Baiklah, peralihan topik. Apa yang diusulkan Kacamata, soal menjadi lebih kuat dan segala tetek bengeknya tadi adalah salah satu cara yang jarang terpikirkan olehku. Aku punya alasan seperti “kekuatan itu akan diidentifikasikan sebagai kekerasan, kontak dan bentrok langsung, saling membalas satu sama lain”. Atau ocehan yang lebih berkelas seperti sempalan kutipan “kuasa itu cenderung korup” yang dikemukakan oleh Lord Acton1. Tapi, alasan sebenarnya adalah ... aku takut.

Aku takut, kalau aku memiliki kekuatan, aku akan menjadi apa yang telah kukatakan sebagai alasan sebelumnya. Sosok yang identik dengan bentrok dan konflik, sosok yang korup. Tentu, bukan berarti aku tidak mau kuasa dan kekuatan sama sekali. Hanya saja, risiko dan tanggung jawab yang datang bersamanya itu .... Aku tidak berpikir dapat menanggung semuanya.

Kenapa aku sebegini takutnya? Jawabnya simpel. Karena aku sudah melihat berbagai macam contohnya. Oleh kekuatan dan kekuasaan yang besar, dibutakan oleh emosi, hilang rasa takut dan terhanyut penuh dengan diri sendiri. Orang-orang yang punya potensi besar untuk merusak dunia ini lebih parah lagi.

Baiklah, itu bisa dibilang terlalu berlebihan. Akan tetapi, memang begitu aku merasakannya. Memang seperti itu aku membayangkannya. Terkadang, semua berawal dari satu hal yang sederhana, dan tiba-tiba menjadi rumit, kusut sekusut-kusutnya seperti kabel earphone yang disimpan di dalam saku.

Aku bukanlah wadah yang tepat unt-

Hm?

Pusaran nalarku buyar lagi. Tapi kali ini bukan karena aku menghendakinya, melainkan, ada sesuatu yang menggapaiku. Lebih tepatnya, jari kelingking kananku. Si Kacamata yang masih terlelap, entah bagaimana tangannya bergerak dan menggenggam jari kelingkingku sekarang.

... janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab aku akan berjalan menyertaimu ...

Ucapannya barusan masuk ke sirkuit pikirku lagi. Rasanya seperti ada ingatan yang terbangkitkan, persis macam Titan Shifter2 bersentuhan dengan mereka yang memiliki darah raja. Pencerahan, itulah yang kurasakan setelah mengingat sebaris kalimat tadi.

Mungkin ini terlalu tiba-tiba, setelah semua argumen internal yang kumuntahkan tadi. Akan tetapi, inilah diriku. Suka terlambat menangkap maksud situasi sekitar. Tidak terlalu suka sesuatu yang mendadak dan di luar dugaan, tapi selalu mencoba untuk merangkul kemungkinan itu di benak logika.

Lihat selengkapnya