“Tujuh!”
Hitungan bersuara tenang itu mendampingi erangan kasarku. Tanganku berkontraksi mati-matian demi melambungkan dagu melewati palang besi. Setelahnya, pelan-pelan aku turun, sebelum akhirnya mencoba naik lagi.
“Delapan!”
Walau kedua kakiku yang saling bersilang di ujung telah ditopang oleh tangannya, tetap saja, pull-up adalah tantangan yang berat. Dengan erangan yang tak enak didengar, daguku berhasil melewati batas palang sekali lagi. Sebelum akhirnya turun kembali dengan pacing kacau. Peganganku sudah mau lepas sebab tak kuat menahan beban diri sendiri dan hentakan tak terkendali tadi.
“Ayo, Kreator, masih ada dua hitungan untuk diselesaikan.” Si gadis di belakangku menyemangati—atau mungkin lebih tepat disebut membujuk, kalau mempertimbangkan gaya bicaranya.
Jujur, lengan serta jariku sekarang sudah serasa terbakar. Lebih tepatnya, terbakar dari dalam. Sensasi yang kalau diingat pernah kualami juga dulu. Ingin sekali kulepas pegangan dari palang dan berbaring di lantai sekarang. Namun, sorakan solo darinya yang berbunyi ayo! ayo! ayo! itu terlanjur mengganggu.
“Saus tartar!” seruku, menyela erangan lain yang menggetarkan udara, pun kedua lengan yang terpaksa menekuk lagi. Elevasi daguku lebih lambat dari sebelumnya, ya, karena sudah lelah juga, sih. Setidaknya, kali ini berhasil, dan aku dapat turun ke posisi menggantung rileks secara aman.
“Sudah, Kacamata, lepaskan! Aku mau turun,” pintaku tergesa-gesa. Sebab setelah angkatan terakhir tadi, jariku sudah tak lagi punya kuasa.
“E~eh? Kurang satu lagi, lo? Bukannya sayang?” balas si gadis dalam balutan aura canda manja. Sayang, aku tidak membutuhkan hal itu saat ini.
“Sudah! Lepaskan kakiku atau aku akan jatuh tersungkur sekarang!”
“Baik, baik~”
Kakiku bebas. Peganganku pada palang besi langsung terlepas, dan aku mendarat dengan tumit duluan. Lelah juga kurang konsentrasi membuat keseimbanganku lebih buruk daripada kapal dalam badai, dan aku langsung jatuh terjengkang ke lantai.
Maksud hati ingin mengaduh, apalah daya hanya helaan napas berat yang keluar. Ku cuma bisa menutup mata menyadari bahwa rasa sakit termanifestasi tak cuma di tangan tapi juga di bokong. Hari ini lebih menyakitkan dari yang kukira.
“Sayang sekali. Padahal dengan satu angkatan lagi, kau dapat menyelesaikan 2 set 10 repetisi tadi.” Komentar itu membukakan mataku. Sambil terengah-engah di lantai, kudapati wajah jelitanya menatapku dari atas. Ia adalah si Kacamata. Gadis yang selalu menunjukkan senyum pada dunia, sampai-sampai aku merasa terbiasa.
“Maaf, ya! Aku sudah tidak tahan ...,” balasku ketus. Lagian, bagaimana bisa aku tahan kalau sedari pagi tangan terus yang disiksa? Awal hari sebetulnya dimulai dengan jogging saja. Namun sebagai lanjutannya, diikuti oleh push up beserta beragam variasinya, juga latihan tangan yang lain. Lenganku mau patah sekarang rasanya.
Selepas kuutarakan komplen itu, Kacamata menimpali, “Mau bagaimana lagi? Secara keseluruhan, tanganmulah bagian yang paling lemah, Kreator.”
Yah, sanggahannya memang tidak salah, sih. Kedua lengan ini hampir tidak pernah melakukan pekerjaan berat selain yang berhubungan dengan bersih-bersih. Di satu waktu, jemariku bahkan dipuji indah nan lentik bak punya perempuan. Karenanya aku berpikir, apakah aku terlahir dengan wadah jiwa yang salah?
“Kendati demikian, aku tetap kagum padamu, Kreator.” Sambil mengatakan itu, Kacamata meluruskan punggungnya. Lantas menyodorkan tangan untuk membantuku bangun.
“Kenapa begitu?” tanyaku segera, sebab heran setelah berhasil duduk.
“Kau pernah menahan beban satu orang menggelantung di tepi bangunan. Mempertimbangkan tanganmu yang ramping itu, apa yang kaulakukan cukup hebat.”
Ketika sadar apa yang dikatakannya adalah kulikan masa lalu, aku tidak membalas. Menurutku, apa yang kulakukan dulu itu cuma sebatas kebetulan. Kebetulan aku ada di sana, dan kebetulan aku berhasil menggapai dirinya yang ada di balik pagar pembatas. Itu saja. Tidak hebat, tidak apa. Akan tetapi, ya, aku tetap senang kalau dia mengingatnya seperti itu.
Sadar akan kelelahan yang kuhadapi, Kacamata mempersilakan buat istirahat. Aku segera bangkit dan menyingkir dari dekat pull bar, membiarkan gadis itu yang sudah melepas jaket parkanya untuk mengambil giliran.
Diriku pun punya target hari ini, katanya dengan gembira. Tak seperti diriku, ia memulai pull up dengan santai, dan meneruskan setiap gerakan yang mengikuti dengan pace yang sama. Pro juga dia. Mau dilihat bagaimana pun, ini sudah merupakan keseharian baginya.
Tanpa sadar, mataku terpaku padanya. Tentu, tidak dalam maksud yang aneh. Aku hanya berpikir, sosoknya yang melakukan olahraga ini tampak hebat dan memukau saja. Aku tidak akan mengomentari tubuhnya, sebab bingung dan takut juga deskripsi macam apa yang baiknya kutuliskan. Yang pasti, aku berani jamin, tubuhnya itu adalah tipe tubuh idaman.
Aku lebih berfokus pada wajah saja. Wajah yang naik turun melewati batas palang itu mulai berkeringat kelihatannya. Namun, itulah bukti olahraga. Suatu hasil kerja, yang kalau dikatakan menjijikkan juga bisa, tapi kalau sekadar dilihat, menambah kilau pun tiada salahnya.
Rambut panjangnya yang biasa tergerai kali ini diikat kuncir kuda. Menampakkan leher belakang dan tengkuk putih yang menonjol, menyeluk dari kerah kaus abu-abu. Tapi tetap, yang paling menonjol darinya adalah kacamata itu, sumber acuan dari nama yang kuberikan padanya, yang entah macam mana bisa bertahan di posisi walau empunya bergerak ke sana kemari dari tadi.