Kami keluar dari gym. Berjalan di lorong pendek, yang mana di sana kami langsung bertemu dengan seseorang yang membawa nampan. Di atasnya bertengger dua gelas besar berpenutup lengkap disertai sedotan. Itu minuman yang dipesan si Kacamata tadi pasti.
Singkat kata, kami kemudian bersantai di tepian tempat latihan kyuudo. Duduk bersebelahan sambil menyedot minuman di gelas. Lalu untuk kesanku pada minuman yang dihidangkan ini, damn, enak sekali.
“Apa ini?” tanyaku.
“Protein shake. Cocok diminum selepas latihan demi mempercepat regenerasi otot yang mulai rusak. Kupilihkan rasa cokelat sesuai seleramu, Kreator.”
Hm, ya, aku menghargai hal itu. Seperti halnya aku menghargai setiap hidangan enak yang dapat kumakan.
Sehabis minum dan mendinginkan isi badan, aku menghela napas tenang. Berusaha menghilangkan setiap keraguanku tadi, sebab bisa saja mempengaruhi niatku berlatih di hari berikutnya.
Benar apa yang dikatakan Kacamata. Aku melakukan ini, aku ingin menjadi kuat karena aku ingin mengambil kedamaianku. Kedamaian yang direnggut oleh orang yang cemburu dan tak memiliki cara lain untuk melampiaskan emosi itu. Ini adalah alasan yang cukup bagiku. Hingga saat yang tepat nanti ....
Hei, tunggu ....
Baiklah, aku sudah tahu dan yakin pada alasanku hendak menjadi kuat. Tapi sekarang, aku malah jadi penasaran dengan alasan si Kacamata. Apa yang mendorongnya melakukan apapun yang telah dilakukannya hingga sekarang? Untuk apa dia menguatkan dirinya—tak cuma dari segi fisik, tentu saja—sampai ke tingkat yang melebihi rata-rata. Aku ingin tahu alasannya.
Jawaban pertama dari tanyaanku tersebut bukanlah kata-kata, melainkan senyum lembut yang bak angin pertama musim semi. Baru setelahnya, dirinya membuka kata.
“Untuk menjawab itu, aku harus bercerita terlebih dahulu. Apa dirimu tidak keberatan dengan hal itu?”
Cerita? Cerita apa? Yah, tentu aku tidak perlu menanyakan itu dan langsung mengangguk sebagai ganti jawaban ‘iya’. Sekali lagi, Kacamata tersenyum, tapi kali ini lebih lebar. Gelas minuman pun kami taruh di sebelah kaki bersamaan.
Kacamata pun berdiri. Berputar arah, kemudian berjalan masuk ke dalam. Melangkahkan kaki ke bagian ruangan bergaya khas Jepang yang diselimuti bayangan. Langkahnya terhenti di rak yang berisi busur-busur panjang. Di sudut lain, ia mengambil sebatang anak panah dengan bulu putih di ekornya.
Aku tidak tahu kenapa dia malah mengambil benda-benda itu, bukannya menjawab tanyaanku, tapi rasanya lebih baik untuk membiarkannya begini. Hingga akhirnya ia kembali ke dekat tepian, berjarak sekitar 2 meter dari tempatku duduk.
“Tentu, dirimu pernah mendengar berbagai kemungkinan dunia akan berakhir bukan, Kreator? Di antara sekian banyak ujaran yang dilontarkan, ada satu yang begitu menarik perhatianku.”
Tubuhnya menghadap ke kanan, penuh. Namun wajah dan mata itu melihat jauh ke ujung lapangan di mana titik sasaran berdiri. Ekor anak panah ia tempatkan di tali busur. Setelah terlihat mantap, ia mengangkat busur serta anak panah yang rata bak permukaan air itu ke udara. Mulai membidik salah satu sasaran.
“Semua yang hidup memiliki usia, termasuk dunia ini pula. Dikatakan, menurut suatu hitungan, usia dunia tidak akan mencapai 1500 tahun. Di masa akhir yang kita tak tahu tentu kapan datangnya itu, akan terjadi perang besar di muka bumi. Hanya saja, berbeda dengan pemikiran, umat manusia akan kembali berkelahi dengan tangan, kaki dan apa yang ada di alam sekeliling mereka saja. Zaman bak kembali ke waktu purba.”
Kendati sambil berbicara, fokusnya tak lekang sedikit juga. Busur serta anak panah itu mulai ia turunkan sampai sejajar dengan garis hidung, seraya menarik talinya ke belakang dengan tangan kanan, sementara tangan kiri lurus menahan beban tarikan.
“Bumi akan hancur pada akhirnya. Gunung dijungkirbalikkan, dan langit diruntuhkan. Gelegar bunyi yang memekakkan telinga akan membunuh semua yang bernyawa. Dan kesemua bencana itu, akan datang tak lama lagi, sebab dalam hitungan yang kusebutkan tadi, kita berada di tahun ke-1442 saat ini. Oleh karena itu ...,”