Aku yakin, horor tidak pernah menjadi genre kehidupanku. Kendati demikian, aku mendapati onibi1 di sana-sini. Aku yakin, aku belum pernah melihat penampakan hantu ataupun youkai2 seumur hidup. Meski begitu, saat ini aku bisa memastikan keberadaan makhluk-makhluk itu. Ruangan ini, sekarang ini, sudah dikuasai kegelapan yang mencekam.
Dari satu sudut, aku mendengar seruan keras, diikuti pekikan yang lebih keras lagi. Aku tetap diam. Duduk diam dan mengamati, dari posisi yang kuanggap aman di sini. Teriakan dan pekikan terdengar kembali. Tidak sekeras tadi, tetapi masih menambah suasana tak menyenangkan di sini. Hal tersebut terus berlanjut hingga kali keempat, dan kemudian aku sadar, sudah cukup sampai di sini.
Dari sela tirai hitam, aku mengintip ke luar. Sebuah lorong sempit nan gelap yang dibuat dalam waktu sehari semalam, hanya dipendari redup kebiruan. Dari ujung sana, aku bisa mendengar dan melihat mereka. Dua pasang kaki yang membuat langkah ke arahku berada.
Pace masing-masingnya kacau, membuatku ragu menentukan timing yang tepat. Tapi pada akhirnya, aku tidak punya banyak waktu. Ketika dirasa cukup dekat, aku langsung menerjang, merangkak maju di lantai melewati batas kain hitam. Di saat yang bersamaan, aku membuka mulut dan menciptakan suara seperti orang yang terjangkit asma. Ini dia, debutku sebagai seorang hantu!
“Kyaaaaaaaa!!!”
Hahahahaha~! Apa kau melihatnya, Manusia?! Sosok menyeramkanku yang dapat dengan mudah membuatmu melangkah mundur, tenggelam dalam keterkejutan dan ketakutan. Dirimu hanya bisa menutup mata, bersandar pada apapun yang bisa kau raih dengan tangan-tangan gemetar itu, sembari membuat teriakan yang tiada artinya. Takutlah! Meringkuklah!
“Baik, Kayako3-nya sudah oke.”
Namun kemudian, euforia yang baru sebentar kudapatkan itu dihancurkan. Ujaran tenang barusan masuk ke telinga, dan membuatku bingung seketika. Dari dua orang yang masuk ke tempat ini, ternyata cuma satu yang benar-benar ketakutan. Sementara yang satunya, dia cuma santai-santai saja. Apakah benar begitu?
“Katakura-san, ini pos terakhir, mari keluar,” kata orang itu lagi, dengan ketenangan yang sama.
Aku mendongak, melihat sekilas siluet yang menggandeng tangan satu orang lagi yang masih menutup mata ketakutan. Mereka melangkah begitu saja melewatiku, menuju pintu keluar dan membukanya.
Cahaya yang masuk sedikit menyilaukan mata. Meski begitu, aku bisa melihat tamu-tamu barusan sekarang. Yang satu, yang dipanggil Katakura tadi, masih saja gemetaran di sana. Sementara yang satu lagi, dia punya hawa keberadaan yang aneh. Berdiri tegap di pintu, seakan tidak merasakan apapun setelah melewati ruang penuh kegelapan yang dihuni makhluk-makhluk menyeramkan.
Dia membalik badan, berkacak sebelah pinggang, lantas berkata, “Kostum yang luar biasa. Juga, penghayatan yang mengagumkan.”
Aku segera bangkit dari lantai, berdiri dengan kedua kaki. Tidak sempat aku membalas kata-katanya, sebab memang di sisi lain juga tidak bisa. Tak lama kemudian, ia mengambil langkah mundur, keluar dari ruangan gelap ini menuju cahaya. Pintu pun ditutup pada akhirnya.
...
“Oke teman-teman, waktunya sesi feedback!”
Seruan terdengar dari depan. Lampu yang ada di langit-langit pun semua dinyalakan, mengembalikan keterangan dalam ruangan. Dinding sekat yang dibangun dari kursi, tongkat dan kain hitam pun terlihat. Begitu juga dengan ornamen tulang dan tengkorak yang dilumuri darah buatan. Onibi-onibi yang sempat jadi perhatian tadi pun, hawa kehadirannya diredupkan, menjadi sekadar lampu hiasan.
“Yo, Kayako, otsu~” sapa salah seorang kawanku yang muncul dari balik kain hitam. Kalau tidak salah dia yang mengurus sound effect untuk menambah kesan seram ruangan ini.
“Jangan panggil Kayako betulan, dong,” sahutku dengan niatan berkelakar.
Akhirnya, kami berjalan bersama menyusuri balik labirin ini. Bertemu dengan sesama hantu lain seperti kuchisake onna4 dan nopperabou5, bertegur sapa sambil mengejek penampilan masing-masing, lantas lanjut maju berjalan.
Di tempat tujuan, kami sudah disambut oleh sekumpulan orang lain. Mereka berkumpul tepat di depan papan tulis yang katanya mau bagaimanapun tidak boleh dilepas. Pos pertama, pos yang dijaga si teketeke6. Pos paling luas, terasa lebih nyaman, ya. Aku iri.
“Baiklah, mohon perhatiannya!” Satu orang yang berdiri di tengah, ketua kelasku, memberi aba-aba sambil menepukkan kedua tangan, menarik fokus semua orang. “Melihat percobaan tadi, bisa kukatakan, rumah hantu kita cukup sukses!”
Orang-orang bersorak mendengar hal itu. Kebahagiaan dan rasa terbalaskan yang muncul berkat usaha selama lebih dari seminggu ini membuahkan hasil yang memuaskan. Tentu, sebagai bagian dari usaha tersebut, aku juga ikut senang.
Saat ini, sekolah kami tengah menyelenggarakan salah satu event tahunan terbesarnya, yaitu bunkasai7. Di samping kegiatan belajar mengajar, para siswa dan seluruh penghuni sekolah menyisihkan waktu untuk mempersiapkan acara yang akan ditampilkan. Meski fokus utamanya di mataku tetaplah hiburan, bisa dikatakan kalau event ini juga merupakan bentuk lain dari pembelajaran itu sendiri.
Para siswa, dalam skala besar, bekerja sama demi menyukseskan acara ini. Memeras otak dan menguras tenaga demi mempersiapkan segalanya. Menyesuaikan diri masing-masing dengan sesama dan kondisi yang menuntut kita.
Kelasku tahun ini mendapat kehormatan untuk membuat atraksi rumah hantu. Semua bersemangat saat ini, walau awalnya agak terkesan enggan. Kenapa kusebut kehormatan? Karena pelaksanaan bunkasai sekolah kami selalu berdekatan dengan Halloween. Kalau membuat rumah hantu, sudah jelas pengunjungnya akan lebih banyak daripada atraksi lainnya. Namun, selain itu, ...
“Tentu saja atraksi kita belum bisa dibilang sempurna. Makanya, kita akan minta pendapat dari para tester yang telah bersedia menyisihkan waktunya.”
Bunkasai selalu diadakan pada hari Minggu di antara bulan Oktober dan November. Besok, adalah hari pelaksanaannya. Jadi, hari ini adalah hari terakhir persiapan bagi kami. Demi mencapai hasil yang maksimal, ketua kelas mengusulkan seseorang dari kelas lain menjadi beta tester rumah hantu kami, sekaligus ajang geladi bersih bagi para hantu—termasuk diriku.
Pintu geser dibuka, dan tampaklah dua orang. Yang satu memakai seragam sekolah biasa. Mukanya agak kurang tenang, kalau boleh kubilang. Mungkin masih agak shock karena kami tadi. Lalu yang satunya ... tunggu sebentar, dia ....
Sepatu hitam berkilap dengan kaus kaki putih. Setelan celana, jas dan dasi putih beraksen garis-garis vertikal yang subtil. Tanda menyerupai arm band di lengan kanan berwarna biru, selaras dengan kemeja yang tersembunyi. Lalu, topi fedora itu. Tidak salah lagi ....
“Michael Jackson8!”
Yah, mana ada. The King of Pop telah lama pergi. Penampilannya memang sangat mirip, sih, apalagi kalau mempertimbangkan kostum itu. Tapi, mau dilihat bagaimanapun, perawakannya itu adalah perawakan perempuan. Perempuan yang kalau masuk ke rumah hantu tidak merasa takut sama sekali, bahkan sampai dengan santainya memberikan komentar, aku sudah punya tebakan siapa dia. Dan ketika fedora itu diangkat, tebakanku berubah jadi kenyataan.
“Tadi sungguh mengesankan. Katakura-san sampai tidak mau melepaskan tanganku selama di dalam.” Topi dilepas, menampakkan wajah putih seperti Michael Jackson di penghujung hidupnya. Namun, fokusku langsung tertuju pada aksesoris yang menggantung di mukanya. Dia, gadis enigma yang kupanggil ‘si Kacamata’.