Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #34

Macabre - Aturan Ada Tidak Untuk Dilewati

Selagi berjalan menuju gedung olahraga, kami melewati kelas si Kacamata. Seperti yang kubilang tadi, kelas si Kacamata membuka sebuah kafe. Nama yang tertera di papan penandanya adalah, “Smooth(ie) Criminal”. Permainan kata yang bagus, menyesuaikan dengan temanya.

Sekilas aku sempat melirik ke dalam. Konsepnya dibuat seperti bar-bar di Amerika pada tahun 1930-an, kalau aku tidak salah. Para pelayannya akan memakai setelan kemeja seperti yang dipakai si Kacamata saat ini. Tak lupa, suspender. Kemudian untuk para gadis, mereka akan memakai gaun beraneka wujud, rupa, dan warna. Aku sampai kesulitan mendeskripsikannya, tapi begitulah. Kuharap mereka menyajikan smoothie yang enak nanti.

Hal yang paling kusuka pada kafe si Kacamata adalah, gambar siluet hitam yang serupa dengan yang ada di MV Smooth Criminal itu, terpasang di dinding di sebelah pintu. Ketika MJ menembak seorang mafia dan jasadnya terbang ke dinding, meninggalkan bekas hitam saja. Secara pribadi, adegan itu iconic buatku.

Tampaknya, kelas si Kacamata masih bersiap-siap. Aku bertanya padanya, apakah tidak apa-apa dia tidak membantu di kelas, andai kata ada yang belum selesai. Tapi dia bilang tidak ada masalah. Jadi kami langsung saja ke gedung olahraga dengan ini.

Lorong-lorong sekolah sungguh sudah dipenuhi kemeriahan. Walau tidak akan sebanding dengan esok hari, pemandangan manusia yang sibuk mondar-mandir mengangkut barang, naik turun menempel hiasan, atau maju mundur berputar-putar menyesuaikan kostum ini tidak buruk juga. Simbol semangat masa muda, selain olahraga dan selamat belajar saja.

Panas mentari sudah hilang rasanya, meski sinarnya masih terang di mata. Aku tidak sempat mengecek jam, sebab ponselku juga ditinggal di kelas. Satu hal yang pasti, kami masih punya waktu buat menetap di area sekolah saat ini.

Ketika masuk ke gedung olahraga, suasananya lebih meriah lagi. Lagu disetel cukup keras, mengiringi para penampil yang berusaha menyesuaikan diri dengan panggung mereka nanti. Di bawahnya, beberapa murid berkumpul. Kalau kukata, ada yang memeriksa penampilan tiap peserta, ada juga yang sekadar menonton buat hiburan awal semata.

Secara alami, kami berdua juga mendekat ke panggung sana. Bak logam yang ditarik magnet, kami makin bersegera setelah memastikan kawan sekelas ada di mana. Aku langsung menepuk pundak Azai Tokio, si ketua kelas yang sudah hadir duluan. Kutanyai, jatah kelas kami kapan. Jawabnya, sehabis ini.

Sekarang yang menguasai panggung dengan begitu anggun adalah senpai-senpai perempuan kelas tiga. Aku tidak tahu dari kelas mana, tapi mereka membawakan tarian yang unik, di mana para penari dalam kostum serasi itu bergerak secara beriringan mengitari panggung, tapi kelihatan seperti melayang tanpa langkah kaki. Pada pandangan pertama, aku langsung terpikat olehnya.

Lantas, Kacamata menyela, “Itu Beryozka, tari tradisional Rusia. Menakjubkan, bukan?”

Hooh, Rusia, ya. Soal menakjubkannya, tidak ada celah untuk berbohong. Memang iya. Sebagai catatan, aku sudah sadar kalau kunci sekaligus daya tarik dari tarian tersebut adalah ilusi. Kaki para penari masih terpasang dengan kuat dan melangkah dengan begitu serasinya di balik rok panjang itu. Mereka cuma berjalan dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan lonjakan pada tubuh bagian atas mereka. Walhasil, muncullah ilusi melayang itu.

Pada akhirnya, kami menonton tarian Beryozka dari senpai sampai selesai. Ketika para penari yang mempesona itu mengundurkan diri dari panggung, anggota OSIS yang mengatur jalannya geladi membuat panggilan bagi kelas kami. Yang masuk pertama, tentu saja, Mikadzuki sang Michael Jackson imitasi yang sebenarnya (agak rumit dan aneh memang menyebutnya begini, tapi mempertimbangkan kehadiran Kacamata, aku tidak punya pilihan lain).

Iseng-iseng, topi fedora si Kacamata kupinjam. Jujur, ketika memakainya di kepala, bukannya King of Pop, melainkan Narumi Soukichi1 yang terbayang di kepala. Ayo, hitung dosa-dosamu, aku jadi tergoda mengatakan itu.

Yak, mari kita tahan hasrat sembarangan kita. Ingat, ini masih tempat umum. Lebih baik diam di tempat dan nikmati saja pertunjukan yang tersedia—sebelum Hari-H menyela dan merebut kesempatannya.

“... senpai!”

Baru saja aku berpikir untuk menikmati, sudah ada selaan masuk. Tak tahu siapa, seseorang memanggil namaku. Ketika menoleh, Kacamata juga membalikkan mukanya ke arah yang sama. Perhatian kami tertuju pada seorang siswa berseragam yang agak lebih pendek dari kami. Kelas satu, kah?

“Sebelumnya, Senpai, izinkan aku memperkenalkan diri.” Hm, sopan sekali. Kacamata pun mengembangkan senyum melihat gelagat siswa ini. “Namaku Sonozaki Shin, kelas 1-F. Aku tergabung di Klub Buletin Sekolah, dan berniat mewawancarai Senpai sekalian sekarang.”

Aw!

Aku tidak bisa menutupi keterkejutan gara-gara lagu yang diputar bervolume keras itu. Di satu sisi, aku juga kaget, kenapa ada orang yang perlu mewawancaraiku untuk sesuatu.

Kalau diingat lagi, ini bukan pertama kalinya aku berurusan dengan Klub Buletin. Tidak jauh dari hari pemakaman Saki, aku dan si Kacamata meminta bantuan para penyampai berita ini untuk mempublikasikan satu narasi. Narasi yang berhubungan dengan Saki. Hanya saja dulu kami bekerja sama dengan anggota yang seangkatan dengan kami, bukan anak kelas 1 ini.

Kacamata segera mengisyaratkan kami untuk keluar, meninggalkan ruang bergema yang memekakan telinga. Melangkah beberapa saat di lorong di samping gedung olahraga, kemudian kami berhenti di dekat vending machine. Kacamata berbalik, lantas langsung menanyakan apa yang si anak kelas 1 mau tanyakan.

“Ini ... terkait Saki-senpai.”

Alis si Kacamata sepintas terangkat. Di saat yang sama, dahiku sedikit mengkerut. Teman si Saki itu berpindah memandangku, menyiratkan permintaan persetujuan walau cuma tergambar dalam ekspresi datar.

Kenapa harus tanya aku? Kusampaikan keberatan itu melalui gestur melepas topi dan ekspresi kurang nyaman, tapi dia cuma memiringkan kepala sambil tersenyum tipis.

Setelah satu desahan pelan, aku pun memberi jawaban. Kuputuskan untuk mendengarkan dulu detail masalah yang dibawa Sonozaki Shin—aku akan menyebutnya si Reporter saja. Baru setelahnya memberikan keterangan sejauh yang aku bisa (atau yang diperbolehkan).

Kucetuskan saran untuk mencari tempat berbicara yang lebih tenang, dan aku sudah punya kandidat lokasinya. Hanya saja, sebelum kami berpindah, tiba-tiba saja muncul sergapan. Bukan ke kami, sih, tapi lebih ke si Reporter. Seorang siswi berseragam olahraga tanpa peringatan menerjang dan memeluknya. Karena siswi itu menyebut nama “Shin”, kusimpulkan bahwa mereka saling kenal.

“Onee-chan2, jangan main peluk kalau di sekolah, dong~”

Aah, oneechan, ya. Damn it.

Lihat selengkapnya