Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #35

Macabre - Abai Tak Selamanya Mencelakai

Kekayaan. Kecantikan. Kecerdasan. Kebugaran. Setelah poin-poin nikmat kehidupan itu dimilikinya, si gadis yang dijuluki Nona Sempurna masih memiliki sesuatu di balik lengan bajunya. Kekuatan supranatural.

Di satu waktu di dunia pasca perkenalanku dengan gadis ini, aku bertanya-tanya, “Buat apa Tuhan mencipta makhluk sebegini mampunya?” Akan tetapi, selepas mengingat kembali tiap-tiap interaksiku dengannya, aku yakin, dia ini juga bukannya tanpa celah. Dia juga masih manusia dengan daging berdarah merah. Hanya nasib yang diarunginya itu kelihatan terlalu berkilau saja.

“Jadi, Senpai ini punya indera keenam?” tanya si Reporter girang. Matanya membelalak, dengan mulut terbuka, sekilas membentuk senyuman.

“Indera keenam, indigo, kekuatan supranatural. Sebut saja apapun. Yang jelas, aku dapat terhubung dengan dunia yang bukan tempat tinggal kita ini.”

“Itu ... itu sungguh luar biasa!”

Woah, tiba-tiba sekali. Kenapa dia jadi sesemangat ini? Penasaran, aku pun bertanya demikian. Jawabannya, agak membuatku heran, tapi masih masuk akal. Katanya, memang sedari dulu si Reporter ini punya ketertarikan dengan hal-hal berbau supranatural. Misteri, hal-hal ghaib dan semacamnya.

Alasan dia memilih menelusuri isu penampakan hantu Saki ini juga gegara itu rupanya. Menggunakan ini sebagai awalan, dia hendak membuat rentetan serial artikel berbau klenik dan semacamnya, tetapi masih terbatas pada lingkup sekolah.

Jujur, buatku itu terdengar menarik. Dan sekolah, sebagaimana rumah sakit dan bangunan tak berpenghuni, selalu mendatangkan kehadiran-kehadiran yang berbeda dengan yang kita ketahui. Di dalam hati, aku memahami ketertarikan dan kekagumannya pada yang tak kasat mata ini. Tapi ...

Tapi gaya bicaranya itu ketika menjelaskan. Mata dan ekspresi itu ketika menggambarkan. Aku tidak terlalu menyukainya.

“Senpai, aku kerap bertanya-tanya, bagaimana orang dengan karunia seperti dirimu melihat dunia ini? Kau tadi juga bilang kalau antardunia terdapat batas masing-masing bukan? Aku ingin tahu—“

“Kalau begitu, mari kita buat perumpamaan.”

Kacamata memotong ucapan si Reporter begitu saja. Tapi karena si anak kelas 1 itu biasa saja, akan kuanggap tidak ada masalah.

Dia bilang mau membuat perumpamaan. Si Kacamata bangkit dari kursi, lantas berjalan ke arah rak yang dipenuhi berbagai macam berkas. Dia berhenti di salah satu lorong, selagi kami memandangi, mengambil dua lembar kertas dari almari, dan menggumamkan sesuatu.

“Begini,” ujar si Kacamata, baru kembali ke ujung meja perbincangan. Dia mengangkat selembar kertas di udara, dengan halaman yang kosong menghadap kami. Ketika cahaya matahari yang tersisa masuk dan menembus kertas itu, tulisan-tulisan di baliknya samar-samar terlihat. “Ibaratnya, kertas ini adalah sebuah dunia, dimensi kalau mau dikata. Kemudian, huruf yang tertulis ini adalah konten, isi dunia tersebut. Dan aku sendiri, adalah cahaya mentari yang menyinari, menembus kertas ini.”

Secara bersamaan, aku dan si Reporter mengangguk pelan, macam murid-murid yang baik di dalam kelas. Lantas, Kacamata mengangkat selembar lagi kertas, menempelkannya tepat di depan kertas sebelumnya. Kendati makin redup, cahaya masih menembus kertas dua lapis itu, membuat tulisannya yang saling terbalik tumpang tindih.

“Kalian boleh menyebut ini hipotesis belaka, tapi di mataku, dunia kita dan dunia tetangga terlihat seperti dua kertas yang ditumpuk begini. Tulisannya–isinya tampak tumpang tindih satu sama lain ketika dihadapkan ke sinar mentari. Tergantung kekuatan dari cahaya itu sendiri, juga ketebalan dari kertasnya, apa yang terlihat pun akan berbeda. Bahkan, aku yakin, ada dunia yang sampai saat ini masih tidak bisa kulihat.”

Si Reporter mengangkat tangannya, yang langsung ditanggapi si Kacamata dengan tunjukkan jari. Kenapa ruang ini berubah jadi kelas betulan sekarang?

“Jadi, Senpai tidak bisa melihat semuanya dengan bebas, ya?” Semangat sekali, ya, kau ini.

“Ya. Tidak semuanya terlihat. Bahkan, aku lebih cenderung menyebut kemampuan ini sebagai ‘diperbolehkan melihat’ ketimbang sekadar ‘melihat’.” Kau juga, Kacamata, tanggapanmu antusias sekali.

Si Reporter menyandarkan tubuhnya ke kursi. Di rautnya terasa kekurangpuasan akan jawaban yang didapat. Aku mau menyela kalau kita melenceng dari topik utama, tapi mungkin itu tidak perlu. Atau harus kubilang, tidak bisa.

“Tidak sebebas yang dikira, ya.”

Lalu, mengenai alam-alam dunia yang berbeda itu, si Kacamata juga memiliki ide lagi. “Kupikir kalian sudah akrab dengan teori dimensi atau semesta paralel, ‘kan? Aku menganggap alam dunia yang berbeda dengan tempat tinggal kita ini sebagai dimensi paralel yang hadir dalam frekuensi berbeda. Kita sama-sama ‘hidup’, namun dalam aliran sungai yang berbeda, kendati bersebelahan dan memiliki hulu yang sama. Itulah kenapa normalnya, kita tidak bisa saling berinteraksi, karena memang seharusnya begitu. Memang ada beberapa sosok yang bisa melihat, atau menyeberang, tapi kita masing-masing sudah diberi wilayah sendiri, dan tidak sepantasnya kita melewati batas tanpa alasan yang jelas. Entah itu dari sisi manusia sendiri, maupun sisi mereka yang tidak nampak di mata kita.”

Kacamata meletakkan kertas-kertas di tangannya ke atas meja. Lantas ia kembali ke kursinya, merilekskan badan dengan tenang pada sandarannya.

“Lantas kenapa beberapa orang seperti dirimu, Senpai, diberi sepintas lihat seperti itu? Aku berpikir, Tuhan menganugerahkan kemampuan seperti itu supaya kita bisa melihat kebenaran dunia. Tapi kenapa ... hanya sepotong-sepotong saja ....”

“Di sini, izinkan aku mengutip dari satu karangan Lovecraft1.”

Sang siswi membetulkan posisi kacamata di wajahnya. Mengalihkan pandangan dari kami berdua, menuju jendela yang menampakkan alam yang telah ditelan senja. Setelah melengkungkan senyum sekilas, dia melanjutkan perkataannya.

Satu hal yang paling pemurah di dunia ini, menurutku, ialah ketidaksanggupan akal manusia untuk menalar semua isi semesta. Kita hidup dalam pulau pengabaian yang dengan tenang mengapung di tengah lautan gelap tanpa batas, dan demikian, kita tidak dimaksudkan berlayar terlalu jauh.”

Selepasnya, kami semua terdiam. Tidak ada yang bergerak ke manapun, atau melakukan apapun. Kami diam, duduk di kursi masing-masing, membiarkan kegelapan menguasai ruangan.

Tak tahu kenapa, aku berani bertaruh, si Reporter saat ini pasti memikirkan hal yang sama denganku. “Ah, jadi begini maksudnya.”

Aku tidak tahu sekarang jam berapa. Tapi aku tidak merasa ingin mengecek jam di ponsel yang tersedia. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan teman-temanku di kelas sekarang. Tapi aku tidak mau mengetahui apa yang terjadi di kelas di bawah sana. Aku merasa lebih nyaman begitu sekarang. Kegelapan semakin melingkupi, dan kami ....

Lihat selengkapnya