Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #36

Macabre - Tarian Orang Mati

Di kepalaku, bunkasai akan selalu berpadu dengan kata bernada positif seperti semangat, kerja sama, hiburan, dan kebahagiaan. Bunkasai sekolah ini pun terasa begitu. Memang, kalau dilihat lebih dekat lagi, kita bakal menemukan hal yang berkesan abu-abu atau bahkan negatif. Tapi kurasa, hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

Ada banyak hal yang bisa didapatkan dari kegiatan ini, aku percaya banyak orang yang percaya dan berpikir demikian. Hanya saja, karena aku tidak menikmati bunkasai secara keseluruhan dengan berputar-putar dan mengunjungi setiap stand yang ada, atau melihat pengunjung yang datang dari sekolah mana saja dan rentang usia berapa, aku tidak bisa mengungkapkan semua pengalaman terkait hal tersebut. Maka dari itu, aku akan menyingkat pengalaman sekaligus kenangan yang kudapatkan selama bunkasai ini menjadi empat poin.

Pertama: Schadenfreude

Aku sudah memaparkan bahwa kegiatan ini identik dengan banyak hal positif sebelumnya. Namun pada kenyataannya, hiburan dan kebahagian—yang kukira menjadi elemen utama dari acara seperti ini—dapat datang dari sisi mana saja (negatif maupun positif). Contohnya, ya seperti yang kami lakukan ini.

Urameshiya~

KYAAAAAA!!!

Yes. Setiap teriakan yang terdengar dari kelas ini adalah medali bagi kami. Saat ini, kami, sebagai hantu penghuni rumah hantu bunkasai tahun ini, mendapatkan hiburan dan kebahagiaan dari menakut-nakuti orang. Melihat para pengunjung yang gemetar, meringkuk, terkejutkan—kesusahan, adalah apa yang memberi kami semangat.

Pengunjung rumah hantu ini benar-benar banyak. Beberapa kali ada yang masuk lima orang sekalian, padahal dibuat aturan dua orang. Lebih lagi, karena keramaian di lorong yang sempit, jariku terinjak juga oleh pengunjung. Untungnya saja tidak terjadi hal yang tidak diinginkan lebih dari itu.

Lagi pula, kalau bicara rasa sakit, selangkangan dan kaki-kakiku lebih menderita. Karena dipaksa menekuk dalam waktu lama, aku jadi sempat kesulitan berjalan. Untung saja rumah hantu ini cuma buka dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00. Tentu, dengan istirahat makan siang selama satu jam pada pukul 12.00.

Jelas, tidak semuanya berjalan sesuai harapan atau kesenangan juga. Sesekali, pengunjung ada juga yang biasa saja. Tetap, aku berterima kasih pada mereka yang bersedia masuk dan membayar atraksi ini.

Kemudian, ada juga yang aku tidak sampai hati menakut-nakuti, jadi kubiarkan saja mereka keluar dengan damai. Salah satunya, Shiki. Aku sudah dengar kalau dia memang tidak suka dengan hal yang berbau horor atau klenik, tapi tak tahu kenapa dia masih masuk saja.

Dengan memakai kimono ala zaman Taisho1, Shiki masuk ke dalam rumah hantu kelasku bersama Itou Minami, teman sekamarnya. Teriakannya yang paling keras dan menyedihkan, kalau boleh kubilang. Ketika mereka sampai di posku, Shiki sudah menggelayuti lengan kimono Itou sampai hampir lepas. Aku tidak akan melupakan ekspresinya itu.

....

Kedua: Service

Menjadi hantu di luar dugaan sangat melelahkan. Kami diam di tempat gelap dan sempit selama berjam-jam, kemudian bergerak menyambut para tamu dengan posisi badan yang tidak wajar dan juga kadang disertai teriakan. Sungguh, melelahkan.

Memahami hal tersebut, si Kacamata, selaku pimpinan (aku tidak tahu apakah benar, tapi kesannya begitu) Cafe Smooth(ie) Criminal memberikan pelayanan pada kami para pemeran hantu. Pelayanan itu berupa hidangan full course gratis selama makan siang.

Pada jam-jam itu, kelas si Kacamata yang menyajikan makanan tidak mengambil istirahat. Para siswa yang bertugas menjadi pelayan dan tukang masak memakai sistem shift, dan semuanya diatur oleh si Kacamata dan Katakura. Jadi, pengunjung bisa masih bisa menikmati hidangan di tempat bernuansa Amerika tahun ’30-an di jam makan siang.

Di satu sisi, kami para hantu yang diberi pelayanan, tidak bisa melepaskan kostum dan riasan. Walhasil, jadilah pemandangan aneh ini. Jamuan makan tengah hari para hantu. Agak canggung memang kalau diperhatikan pengunjung lain, tapi di sini, aku bersyukur sebab wig yang kupakai cukup panjang. Wajahku tak akan kelihatan.

“Yah, aku sudah kerap melihat hantu, jadi ini biasa saja.” Begitu komentar si Kacamata.

....

Ketiga: Stage Star

Sekali lagi, aku bersyukur kalau rumah hantu cuma buka sampai pukul 16.00, karena aku masih memiliki keinginan untuk melihat berbagai macam penampilan di gedung olahraga yang selalu ramai dari buka gerbang pagi tadi.

Sayang, aku tidak memiliki kesempatan melihat tarian gabungan kelasku dan si Kacamata. Aku akan minta videonya nanti. Tapi setidaknya, kami tidak terlambat untuk melihat penampilan band metal lokal yang menjadi guest star bunkasai kami.

Satu ide muncul di kepala kami ketika sedang makan siang. “Setelah segerombolan hantu makan siang, bagaimana kalau habis ini para hantu nonton konser bersama?” Begitu cetus si nopperabou. Jadi, ya begitulah kami bertindak berikutnya.

Lihat selengkapnya