Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #24

Hanabi - Tujuanku Berbeda, Mungkin ....

Panas musim mungkin telah melelehkan roda gerigi dalam jam dunia, sehingga waktu terasa begitu lambat. Aku membuka mata di atas ranjang dan mendapati jarum detik pada jam dinding macam tidak bergerak. Mungkin saja, memang gegara saking panasnya semua melambat. Jam bangunku, gerak tubuhku, laju pikiranku, duniaku, waktuku. Sampai kemudian, kutengok ponsel berdering di atas meja ....

***

Pukul 18.14, aku membanting selembar kartu ke permukaan terpal. Uno game, begitu seruku bersamaan, membuat tiga orang lain yang masih memegang kartu di tangan mengerang kesal. Kenapa sampai sebegitunya? Sebab siapapun yang kalah dalam permainan ini harus jadi orang yang mengambil pesanan makanan di kedai.

“Dan anak ini kemarin bilang ‘malas keluar rumah’. Kurang ajar!” gerutu Azai Tokio, temanku yang menunjukkan raut paling tidak terima.

Lantas aku membalas, “Malas tidaknya tidak ada hubungannya kan? Kebetulan saja keberuntungan memihakku.” Lagi pula, masih ada dua slot keselamatan. Mereka harus segera melanjutkan permainan selagi acara belum bermula.

Hari ini, sebuah Sabtu di bulan Agustus, kami berempat datang ke festival kembang api kota. Seperti kata Tokio, aku sempat enggan menerima ajakan main ini beberapa hari yang lali. Lagi pula selama liburan musim panas, ada cerpen yang mau kuselesaikan. Tapi karena kehabisan inspirasi, pada akhirnya aku pun mengiyakan dan ikut patungan.

Konon katanya, festival kembang api yang diadakan di pinggir Sungai Tone ini merupakan salah satu yang terbesar sewilayah Kanto. Jelas, ada banyak orang yang datang melihat. Dari berbagai daerah malah. Saking ramainya, sampai-sampai pengunjung diminta pesan tempat dulu untuk ikut menonton.

Mengetahui lokasi tujuan, memahami waktu yang dijanjikan, aku berpakaian serapi mungkin dan mengemas barang bawaan di tas kecil. Lekas melesat dengan sepeda pada pukul 17.30. Ujung-ujung kemeja hitamku yang tidak dikancingkan terus berkibar, selagi melaju menyusuri Sungai Hirose. Di daerah dekat Nippon Totor Green Dome, aku berkelok menuju utara, masuk ke jalan raya.

Aku merasa, aku mengayuh sepeda agak terlalu bersemangat. Menempuh jarak tiga kilo lebih dalam waktu yang terbilang singkat. Apakah ini karena aku merasa terbebas dari kebosanan dan kesepian selama libur musim panas? Entahlah, sebab di awal liburan aku sempat kena kelas tambahan bersama beberapa teman, jadi harusnya tak mungkin diriku sekesepian itu.

Ah, atau mungkin gegara alunan lagu Uchiage Hanabi1 yang terdengar di telinga? Aku sudah beberapa dibilangi, kalau bersepeda sambil mengenakan earphone itu kurang baik, hanya saja, tetap kebiasaan ini tak bisa berhenti. Apalagi setelah aku mendapatkan lagu favorit baru. Ya, Uchiage Hanabi sudah rilis dari lama, tapi aku baru coba mendengarkan tempo hari.

Di sela-sela gedung dan rumah warga, aku bisa melihat mentari mulai mengucap salam perpisahan dari cakrawala. Langit yang tadinya biru, lantas jadi oranye, lantas jadi agak ungu, hingga di ujung terjauh di timur sana sudah kelihatan kelabu. Ketika malam sepenuhnya tiba, acara akan bermula.

Tapi, yah, masih ada satu jam lebih sebelum kembang api pertama dihidupkan. Jadi aku, dan ketiga orang lain yang sudah berkumpul di area festival memutuskan untuk bermain sesaat. Di sanalah, Tokio yang membawa setumpuk kartu uno mengambil peran.

“Haruskah kita naikkan taruhannya? Yang kalah bayar semua makanannya?” Yanamoto, yang sudah siap melanjutkan ronde pun berujar. Kurihara, pemuda berkacamata yang duduk di hadapanku langsung menyalak menanggapinya.

“Tidak! Kalau mau begitu, Satou harus ikut lagi.”

“Jujur, aku masih tidak terima kalah oleh Saku, sih.”

Lihat selengkapnya