“Kenapa kau sendirian di sini?” tanyaku sambil berjalan mendekati sang gadis.
Shiki Yuuko. Seorang gadis pendiam yang karena sebuah kebetulan menjadi temanku. Meski beda kelas, bisa dibilang kami kerap berinteraksi satu sama lain. Meski kebanyakan karena dirinya menjadi salah satu pembaca ceritaku. Tapi, yah, kami teman.
Melihatnya lebih dekat, sesaat aku terdiam. Seperti adegan cerita yang barusan kubayangkan, Walau belum sampai di hadapannya, tanpa sadar, aku mematung begitu saja. Melihatnya. Shiki malam ini kelihatan cukup berbeda dari biasanya.
Dari bawah, dengan zouri1 bertali hitamnya. Kemudian naik, dengan yukata lazuardi bermotif kotak-kotak subtilnya, kadang mengkilap saat terkena cahaya lampu. Juga, jepit rambut berwarna biru muda yang menahan helai-helai rambut gelap di atas telinga kanan. Semua itu, ditambah make up tipis di wajah untuk mempertahankan kesan natural.
Shiki berbeda malam ini.
Satu hal lagi yang kusadari berkat cahaya lampu di sudut lapangan adalah, sebuah benda panjang di genggaman sang gadis. Benda panjang, berkilau keperakan. Seketika, aku mendapati rasa dingin menjalari punggung, memaksa tubuhku bergerak dengan sendirinya lagi menggapai Shiki.
“Apa yang kau pegang itu?” tanyaku agak panik, sembari meraih pergelangan tangan kanannya. Shiki pun sempat terkejut melihat gelagatku, tapi semua reda ketika aku sudah melihat apa yang dirinya pegang itu.
“Kanzashi2, kah ....”
Aku mengembus napas lega. Sempat takut kukira ornamen kepala itu adalah pisau atau benda tajam semacamnya. Menyadari tingkahku, Shiki pun menjelaskan, “Ini tidak tajam, kok. Dan ... aku tidak mungkin menyakiti diri sendiri di depan umum.”
Kecemasan pun terpecah sudah, dengan bayaran Shiki harus membuat wajah tak nyaman di hadapan. Sekarang, situasi beralih menjadi canggung sangat.
Bukan tanpa alasan aku bertindak demikian. Shiki punya riwayat mencoba bunuh diri, dan menurut laporan dari seseorang lain yang ikut membantunya, ia sempat hampir melakukan self harm di kamar mandi sekolah. Aku tidak bisa tenang kalau sudah tahu hal seperti itu. Kendati begitu, aku tetap mengucap maaf kali ini.
“Ngomong-ngomong, kenapa tidak kau pakai di kepala?” Aku coba mengalihkan topik sesegera mungkin.
“Aku ... tidak cocok memakai ini,” jawab Shiki rendah.
“Benarkah?” tanyaku balik, heran. Kulepaskan genggaman pada pergelangan tangannya, membiarkan Shiki menunjukkan sendiri tampilan penuh dari kanzashi itu. Sebatang logam keperakan yang di salah satu ujungnya terkait dengan rantai emas, menjuntai tiga perempat panjang logam tadi dan dihiasi kristal-kristal bening hijau dan nila.
“Apa ini? Kanzashi motif buah anggur?” Di sini aku memperlihatkan ketidaktahuan soal style perempuan.
“Bukan, ini bunga wisteria.”
Langsung aku dapat menebak, siapa yang memberikan hiasan rambut yang kelihatan mahal ini. Di saat yang sama, aku juga mengira-ngira kenapa Shiki enggan mengenakan benda ini di kepalanya. Meski begitu, aku tetap bertanya. Benarkah tidak cocok? Yang ia balas dengan jawaban yang sama. Aku tidak cocok memakai ini.
“Aku belum melihatnya, sih.” Aku masih mencoba memaksa. Tapi kali ini, raut datar Shiki sepintas berubah, dengan beberapa kerutan muncul di dahi.
“Kalau begitu,” ujar Shiki sambil menyodorkan kanzashi-nya padaku, “pakaikan coba!”
Terpaksa tanganku menengadah, menerima benda yang diberikan Shiki. Dengan gelagapan mencoba menuruti perintah, memasangkan kanzashi ke kepalanya. Bahkan sang gadis sudah membalik badan, memunggungiku. Ia menunjukkan uraian rambut hitamnya yang sudah menyentuh bahu, lebih panjang dibanding kali pertama kami berjumpa.
“Oke, aku menyerah.” Permintaan maaf yang kedua kuhantarkan. Sekaligus, kumenyerahkan kanzashi itu kembali pada Shiki. Namun, ia tak menerimanya.
“Saku saja yang pegang, tolong. Aku merasa tidak nyaman membawa benda mahal begitu.” Berkata begitu, pandangan Shiki pun jatuh ke tanah.
Buat kesekian kali aku bertanya kenapa, dan ia langsung menjelaskan, “Biasanya benda-benda semacam itu baru kumiliki setelah mendapat suatu pencapaian. Biasanya, kalau nilaiku bagus, baru Ibu membelikannya buatku. Kalau langsung menerima begitu saja, aku tidak merasa pantas. Selain itu ....”
“Selain itu?”
“Benda itu ....” Di tengah kalimat, Shiki tersenyum tipis. “.... terlalu indah untukku.”