“Siapa sangka kombinasi ini bisa terlihat di festival kembang api, ya ....”
Siapa sangka temanku bakal menjajakan pisang cokelat di festival kembang api, ya ....
Gadis yang berkacak pinggang di balik meja kedai ini adalah Sanada Kiyomi, teman sekelasku. Seperti Shiki, penampilannya malam ini memberikan kejutan tersendiri. Sesuatu yang menyegarkan, kalau boleh dibilang.
Celana denim selutut, dengan kaus abu-abu berbalut happi biru tua. Tak lupa, rambut cokelat sebahunya yang kali ini dikuncir dua. Meski tidak berkesan feminin (maaf kalau menyinggung), kukira penampilan ini menyesuaikan karakternya yang cukup energetik dan ramah.
Wah, kalau dua kali bertemu kenalan begini, besar kemungkinan aku bakal bertemu yang lain lagi. Yang satunya, yang kalau kupikir-pikir tidak perlu bertemu juga.
“Aku sudah mengira kalau Shiki datang kemari, sih. Cuma, kalau Saku ....” Gadis itu bicara sambil melirikku penuh permainan. Aku agak tersenyum kecut.
“Kenapa begitu?” Shiki bertanya, bingung.
“Tadi Nona pesan banyak makanan di sini. Katanya, Nona datang bersama banyak anak-anak, minta diantarkan kalau sudah jadi. Makanya, kukira semua penghuni Kane no Naru Oka ikutan.”
Tebakan yang bagus, Saki. Dan juga terima kasih, sudah mengonfirmasi kehadiran seseorang yang baru saja kupikir tak mau kutemui. Si “Nona” ini ....
Lantas, gantian aku yang bertanya, “Terus, kenapa tiba-tiba kau jual makanan di sini?”
“Saku sudah tahu, kan, kalau aku kerja sambilan di resto keluarga? Nah, warung tetangga yang menjajakan yakisoba ikut kerja sama dengan panitia di sini, tapi kekurangan orang. Ya sudah, kami sebagai pekerja sambilan diminta ikut membantu jualan.”
Uwah, semangat yang luar biasa. Poin itu juga sesuai dengan karakter si Saki ini. Di sekolah, dirinya dikenal sebagai “teman semua orang” berkat sifatnya yang supel dan ramah. Tak cuma itu, ia hobi sekali membantu orang. Ternyata hobi itu tak cuma berhenti di area sekolah saja, ya.
“Jadi, mau pesan yang mana?”
Setelah ditanyai begitu oleh Saki, kami kembali melihat-lihat hidangan di depan mata. Yah, semuanya pisang berbalut lapisan cokelat dan meses, sih. Hanya saja, warna-warna yang tersedia tetap mendiamkan diri kami, berpikir mau ambil yang mana.
“Cokelat.” Aku meminta.
“Yang pink, tolong.” Shiki menambahkan.
Selepas uang kuserahkan, Saki menunjukkan atraksi tangan yang tak kalah cekatannya dengan Shiki tadi. Memasukkan selembar seribu yen ke dalam laci, menghitung kembalian, lalu mengambil jumlah uang yang sesuai dalam gerak berkesinambungan yang singkat. Sisa uang kembali, dan barang pesanan mengekor di belakang.
“Kanban musume1 tidak boleh cuma cantik, ya!” Begitulah Saki merespons ketika kukomentari gerakannya tadi.
Satu buah yang berwarna cokelat kusodorkan ke Shiki, tapi baru ingat kalau tangannya sudah membawa dua buntelan ikan mas. Sejenak ia kebingungan.
“Kupegangkan, jadi langsung gigit saja.”
Mendengar saran itu, Shiki tersentak sesaat. Kemudian ia kelihatan enggan, tetapi pada akhirnya, tidak menunjukkan penolakan. Kami mulai menggigit di saat bersamaan. Menandaskan gigi pada lapisan cokelat yang beku tapi lunak, masuk ke daging buah pisang yang lembut dan memiliki rasa khas, berbeda dari buah lainnya.
Dari semua buah, aku paling suka pisang dan semangka. Sama-sama enak memang, tapi aku punya perumpamaan khusus untuk keduanya. Kalau semangka adalah sirup, maka pisang adalah condensed milk. Aku tidak berharap orang lain langsung paham, tapi begitulah caraku menggambarkan.
“Yah, sekali lagi, tidak kusangka bisa melihat kombinasi ini.” Saki berkomentar. Melipat kedua tangan di dada sambil mengangguk-angguk, memejamkan mata.
“Memangnya seaneh ini kalau aku dan Shiki bersama?”
“Tidak. Cuma, ya ... bisa jadi suasananya yang berbeda saja.”
Untuk beberapa waktu kami berdiri di depan kedai yang Saki jaga. Dirinya menyempatkan diri bicara denganku dan Shiki meski sesekali harus melayani pelanggan lain atau membantu pekerja sambilan dengan tugas berbeda. Beginilah Saki, sibuk atau luang, dirinya bak tidak peduli. Melakukan apa yang ingin dilakukan. Paling tidak, pekerjaannya tidak ada yang kacau.
Pisang cokelat di tangan kurang satu gigitan. Saat itulah, dari kejauhan terdengar seseorang memanggil seseorang. “Yukko~!” begitu serunya. Dari sudut di balik kedai lain, datang seorang gadis berambut bob melambaikan tangan. Setelah Shiki merespon dengan sebuah nama, “Minami?” aku langsung tahu dia siapa.
“Yukko, ke mana saja sih? Aku mencarimu tahu!”