Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #27

Hanabi - Ia Menatap Jauh ke Sana

Gadis inilah yang memberikan Shiki kanzashi yang enggan dipakainya. Gadis inilah yang memboyong puluhan anak-anak dari panti asuhan untuk melihat kembang api tahunan. Gadis inilah yang memesan berkotak-kotak makanan untuk dibagikan.

Ia dikenal dengan banyak nama. “Nona Sempurna” oleh orang-orang di sekolah. “Ama-nee” oleh anak-anak yang dikasihaninya. Sekadar “Nona” saja, oleh Saki dan beberapa orang lainnya. Juga sebatas “Fujiwara-san”, di mana orang lebih akrab dengan nama sebenarnya. Namun bagiku, dia cuma kupanggil “si Kacamata”.

“Pada akhirnya kita berjumpa juga di festival ini, ya, Kreator.”

Ucap gadis itu, dibarengi tatapan hangat yang menyambut langkahku padanya.

“Aku malah mengira sudah kecil kemungkinan kita tidak berpapasan, Kacamata.”

Aku menjawab, setelah mengingat-ingat kalau dalam waktu yang singkat, di lapangan baseball penuh orang ini, aku bisa bertemu Shiki, Saki, dan beberapa orang lainnya.

“Apakah itu berarti ... dirimu sebetulnya ingin menemuiku?”

Lengkungan bibirnya berubah, agak lebih lebar. Sementara mata di balik lensa beningnya menyipit sekilas, membentuk raut wajah yang seakan menggoda, ingin main-main saja. Khas sekali dengan dirinya.

“Kenapa interpretasimu jadi begitu coba?”

Setelah beberapa kali menapakkan jejak di atas rumput, aku berhenti satu meter di hadapannya. Kepada senyum di bibirnya yang berubah menjadi tawa, kumenanggapi dengan muka datar saja.

Satu alasan mengapa diriku sempat enggan bertemu dengannya di sini. Adalah karena kemarin, aku sempat menolak ajakannya. Sehari setelah undangan Tokio kutahan, si Kacamata menelepon, mari datang ke festival bersama. Aku menjawab, Sedang tidak ada niat. Namun akhirnya malah datang kemari bersama Tokio dan teman-teman lainnya.

Lalu di sini, aku malah bertemu dengan Shiki, bagian dari rombongan si Kacamata. Terus ada Saki, gadis baik hati yang datang karena diminta melakukan pekerjaan. Pada akhirnya, bertemu dengan gadis berkacamata kaya raya ini merupakan sesuatu yang—rasanya—tak dapat dihindari lagi.

“Sedang apa kau di sini sendiri?”

Pertanyaan yang tadi kuajukan ke Shiki terucap kembali. Mewakili heran mendapati gadis yang kalau menurutku jadi pemimpin grup ini malah berdiri sendiri di blok penonton lain, lebih dekat ke jalan aspal di samping sungai.

Si Kacamata pun menjelaskan, “Aku penasaran dengan peluncur kembang apinya. Harusnya di pasang di bantaran sungai seberang sana, dan aku kepingin melihat.”

“Memang kelihatan?” Aku makin terheran.

“Sayang disayang, mataku tidak setajam elang.”

Berkata demikian. Namun sekali lagi ia menolehkan kepala. Mencoba menatap jauh ke seberang sana. Katanya, kembang api yang akan diluncurkan di tempat ini malam ini jumlahnya ribuan dan punya ukuran beragam. Aku paham mengapa gadis ini penasaran, tapi kukira tidak perlu sampai sebegitunya.

Selagi ia diam, aku melihat tampilannya dari bawah ke atas secara saksama. Dasarnya seperti Shiki dan Itou tadi. Zouri, yukata, kemudian riasan natural dan kanzashi berwujud bunga wisteria. Hanya saja, ada yang berbeda. Atau harus kukatakan, lebih tinggi tingkatannya dibanding yang sudah sudah kulihat sebelumnya.

Sandal kayu si Kacamata dicat hitam, dengan tali berwarna emas. Yukatanya punya warna dasar putih, dengan aksen ungu dan nila yang mereplika bunga wisteria hanya di sisi kanannya. Sementara bunga kristal di kepalanya itu dibentuk seperti helaian kelopak-kelopak bunga sesungguhnya. Berdenting bersama kilatan cahaya ketika ia bergerak-gerak. Terpasang di rambut gelap yang dikepang kemudian di sanggul, menampakkan tengkuk putih yang selama ini belum pernah kulihat.

“Jadi Kreator,” panggil gadis itu. Sepertinya sesi pengamatan remidialnya sudah usai, jadi dia berbalik lagi padaku. “Aku berfirasat dirimu datang ke sini tidak dengan tujuan tunggal. Maka dari itu ... bisa beri tahu aku premis cerpen barumu?”

Shit, tebakan yang bagus. Aku tidak ingat pernah memberi tahu si Kacamata ini kalau aku sedang mengerjakan cerita baru. Meski begitu, ia bisa bilang begitu. Entah karena firasat belaka atau berkat pengamatan singkat, gadis ini dari dulu kerap membuat tebakan begitu. Tidak ada gunanya mengelak.

“Kencan di festival musim panas.”

“Hm, romansa, ya. Klise, tapi tetap terdengar menyenangkan.”

Aku mengingatkan si Kacamata kalau makanannya sudah datang. Namun, ia cuma mengiyakan dan lanjut berbicara. Menahanku lebih lama. Hanya saja, kenapa aku merasa ditahan? Apa aku ingin pergi ke suatu tempat lagi? Atau ini cuma karena canggung rasanya bersama seseorang yang sempat kutolak ajakannya? Atau malah, sebab hal lain lagi ....

“Berbicara soal romansa, aku jadi teringat bintang, Kreator.” Si Kacamata berujar sambil mendongakkan kepala. Sebelah tangannya ikut naik, menunjuk ke salah satu titik cahaya di langit sana. Sebelum kemudian kelima jarinya itu terbuka seakan ingin menggapai semua.

Lihat selengkapnya