Krematorium Aiden

Adeline Nordica
Chapter #1

Prolog-Api yang Tak Pernah Padam

Tak ada yang benar-benar mati di tempat ini.

Begitu kata Jaya, penjaga tungku tua yang menghilang tanpa jejak seminggu lalu. Katanya, di setiap abu selalu ada sisa suara, bisikan halus yang menolak padam. Malam-malam tertentu, jika kau berani berdiri di dekat tungku, kau bisa mendengar mereka memanggil nama sendiri sebelum lenyap menjadi debu.

Krematorium Aiden berdiri di ujung kota, diapit pohon trembesi tua dan jalur rel mati yang tak lagi dilalui kereta. Bangunannya kusam, namun selalu hidup menjelang senja. Di sinilah jasad terakhir manusia berpamitan dari dunia, bersama panas yang menelan segalanya tanpa ampun.

Dan malam itu, tungku tua itu kembali bernyala, bukan untuk mengantarkan arwah, melainkan untuk menyembunyikan dosa.

**

Hujan turun ragu-ragu, menetes di atas atap seng dan kaca jendela yang berdebu. Di bawah sinar lampu kuning yang berpendar suram, Iptu Helmy berdiri diam di depan krematorium yang terkunci dari luar. Pagar besi yang berkarat berderit pelan ketika disentuh, seakan menolak dibuka.

Ia tidak terburu-buru. Bau logam dan jelaga samar menyambutnya sejak dari halaman depan.

Jam tangannya menunjuk pukul 23.48.

Seseorang telah menelpon satu jam sebelumnya, suara perempuan parau, bergetar, memohon agar polisi segera datang ke tempat itu. Tapi saat petugas jaga menghubungi balik, nomor itu sudah tak aktif.

Helmy membuka masker kainnya sebentar, menghela napas panjang. Bau terbakar yang aneh; bukan kayu, bukan plastik menyusup ke paru-paru. Ia mengenalnya. Itu bau daging. Bau kematian yang sudah kehilangan identitas.

Ia menyalakan senter, melangkah masuk ke aula krematorium. Di dalam, cahaya menabrak debu dan partikel halus yang melayang seperti abu manusia. Lantai mosaik yang dulu berwarna putih kini gelap, dipenuhi bekas noda yang sulit dihapus.

Di sudut ruangan, tergantung papan jadwal kremasi dengan cat hitam yang pudar. Nama-nama terakhir berhenti di tanggal minggu lalu. Dan di bagian bawah papan, masih tertulis dengan kapur putih:

“Penjaga malam: JAYA.”

Helmy mendekat, menelusuri meja registrasi yang kosong. Sebuah mug berisi kopi dingin dibiarkan di sana, ditumbuhi lapisan jamur tipis. Di sampingnya, selembar kertas lusuh berisi tulisan tangan yang hampir pudar oleh waktu:

“Jangan biarkan api padam sebelum kau mengerti apa yang terbakar.”

Tulisan itu berhenti di tengah kalimat, seolah si penulis buru-buru pergi.

**

Tungku utama berdiri di ruangan paling belakang.

Pintu besi besar itu sedikit terbuka, menyisakan celah sempit tempat cahaya oranye menyelinap keluar. Helmy berhenti beberapa meter dari sana. Ia bisa mendengar suara berdesis samar, seperti napas seseorang yang tertahan lama di tenggorokan.

“Ini… masih menyala?” gumamnya, pelan.

Tak ada jadwal kremasi hari ini. Tak seharusnya api itu hidup.

Tapi nyatanya, nyala di balik pintu itu justru semakin terang, menari liar di antara semburat asap.

Helmy menunduk, melihat sesuatu di lantai: jejak sepatu, baru dan jelas, menuju tungku. Ia mengikuti dengan langkah hati-hati. Di dekat pintu, bau itu semakin kuat.

Sengit. Manis. Memuakkan.

Ia menarik pintu besi dengan tenaga penuh. Suara engsel berdecit panjang seperti jeritan makhluk tua. Dan di sanalah ia melihatnya, sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Lihat selengkapnya