Api adalah simbol peralihan: dari daging menjadi abu, dari tubuh menjadi ingatan, dari manusia menjadi misteri. Tapi malam itu, api tidak lagi sekadar saksi. Api menjadi algojo.
Tungku kremasi tua di ujung bangunan kusam itu berdengung pelan, sisa panasnya masih terasa seperti napas panjang yang baru saja mengakhiri sesuatu. Bau daging terbakar menusuk, bercampur dengan logam berkarat, cairan tubuh yang meleleh, dan debu arang. Bau itu merayap, menempel di dinding, menyusup ke pakaian para petugas, lalu menempel di hidung seolah tak mau pergi.
Di hadapan tungku itu, sesosok tubuh telungkup tergeletak, separuh terbakar, separuh lagi masih utuh. Bagian dada hingga kepala hangus, kulitnya retak-retak seperti kayu kering, sementara dari perut ke bawah, masih tampak daging dan otot yang mengeriput. Lemak meleleh, menetes ke bibir tungku, lalu jatuh di lantai ubin krematorium yang dingin. Cairan itu membentuk jejak tak rata, bercampur dengan debu dan noda abu yang sudah lama mengotori lantai.
Iptu Helmy berdiri beberapa langkah dari tungku. Tubuh jangkungnya dibalut jas hitam INAFIS yang sudah basah oleh peluh. Tangannya, meski berbalut sarung tangan lateks, tetap terasa dingin. Matanya tak lepas dari wajah yang sudah gosong itu, wajah yang hanya meninggalkan rahang menganga, gigi berderet, dan satu gingsul yang mencuat di antara geligi. Detail kecil itu bagai jeritan di tengah keheningan: tanda bahwa orang ini pernah hidup, pernah tersenyum, pernah punya cerita.
Helmy menunduk, lalu berjongkok. Ia menyipitkan mata, mencoba menembus lapisan gosong itu. Bola mata korban sudah hilang, meninggalkan rongga hitam pekat. Dua lubang itu terasa lebih dari sekadar sisa pembakaran; seolah menjadi lorong yang menatap balik ke arah Helmy. Semakin ia memandangi, semakin terasa ada sesuatu yang menyedot perhatiannya, menariknya masuk, membuatnya seakan berada di ambang sebuah rahasia.
“Korban laki-laki,” gumam Helmy lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi tetesan lemak yang jatuh ke lantai. “Tinggi kira-kira seratus enam puluh… identitas belum jelas.”
Di belakangnya, suara kamera digital berulang kali berbunyi. “Klik. Klik. Klik.” Lampu blitz sesekali memercik, menyoroti tubuh korban lalu memantul ke wajah para petugas. Beberapa polisi yang baru magang tampak pucat, menahan rasa mual. Satu di antaranya terpaksa keluar ruangan, menutup mulut sambil menunduk.
“Pak, sidik jarinya masih bisa diambil.” Seorang anggota tim INAFIS mendekat, menunjukkan plastik bening berisi cetakan sidik jari. “Kalau terdaftar di e-KTP, MAMBIS bisa langsung cocokkan.”
Helmy mengangguk singkat, lalu menerima sebuah map dari seorang polisi yang baru masuk. Bau kertas bercampur dengan bau daging gosong membuat kepalanya berdenyut.
“Ada bukti penunjang lain untuk mengetahui siapa pelakunya?” tanya Helmy tanpa mengangkat wajah, matanya masih tertuju pada tubuh korban.
“Proses masih dilakukan, Pak,” jawab polisi itu. “Kami sudah amankan rekaman CCTV. Korban kemungkinan dibunuh malam tadi, saat krematorium sepi. Dua pengurus krematorium juga hilang, belum jelas apakah mereka saksi, pelaku, atau…” ia melirik ke tubuh hangus itu.
Helmy menutup map perlahan. “Baiklah. Saya tunggu laporan lengkapnya.”