Suara letupan kecil terdengar dari dalam tungku krematorium. Bara masih merah, mengendap di dasar logam hitam. Asap tipis melingkar naik, menari di udara seakan menyusun wujud wajah yang samar. Di antara cahaya itu, mata Jaya memantul dingin, bukan lagi mata bocah kurus dari Pasar Merdeka, melainkan mata seorang pria dewasa dengan tatapan yang kehilangan arah.
Ia berdiri lama di depan tungku yang baru saja memakan korban malam itu. Bau daging terbakar menusuk hidungnya, getir dan manis sekaligus, seperti karamel yang gosong. Tapi anehnya, rasa itu tak membuatnya mual. Justru ada sesuatu yang muncul dari balik bau itu: sepotong kenangan yang dulu hangat, kini hanya bara yang tertimbun abu.
Hening.
Hanya dengung ventilator dan desis logam panas yang terdengar.
Lalu, dari dalam keheningan itu, muncul suara yang pelan, parau, tapi penuh tenaga. “Kalau kau punya kesempatan bikin hidup orang lain lebih ringan, lakukan.”
Suara itu datang seperti dari tempat jauh, tapi juga begitu dekat, seolah berasal dari dalam dadanya sendiri. Suara yang ia kenal. Suara masa lalu.
Jaya menutup mata. Dan begitu kelopak matanya menutup, dunia di sekitarnya mulai berubah. Asap krematorium menipis, berganti dengan aroma yang lebih hidup: bau bawang putih tumis, ikan asin goreng, kecap hangus di wajan, dan teriakan orang-orang yang menawar harga di pasar.
**
Pasar Merdeka, Dua Puluh Tahun Lalu
Pagi itu, Pasar Merdeka berdetak seperti jantung kota yang gelisah. Ruko-ruko tua berjejer rapat di sepanjang jalan, catnya mengelupas, dan lumut hijau merayap naik di antara retakan dinding. Spanduk lusuh menggantung, suara logat Hokkien, Melayu, dan Madura saling bertindihan, menciptakan harmoni kacau yang khas.
Bau amis ikan dan wangi pandan dari gerobak kue campur menjadi satu. Di antara keramaian itu, seorang bocah berlari tergesa-gesa, menembus kerumunan sambil memeluk sepotong roti isi kacang.
Bajunya kusam, celananya robek di lutut, dan napasnya memburu.
“Berhenti! Maling kecil!”
Tiga preman pasar mengejar. Langkah mereka berat tapi cepat, suara sandal mereka menampar genangan air sisa hujan semalam.
Bocah itu menoleh sekali. Matanya lelah tapi keras kepala. Ia tahu kalau berhenti, artinya tamat. Tapi langkahnya goyah. Satu tarikan keras dari belakang membuat tubuhnya jatuh ke tanah becek. Tinju pertama datang dari arah kanan mendarat di pipinya, membuat kepala bocah itu terpelanting ke samping. Rasa darah dan tanah bercampur di lidah.
“Berani-beraninya kau curi roti dari meja gua!”
“Anak setan, dasar perusuh!”
Tendangan mendarat di perut. Sakitnya menusuk sampai ke paru-paru. Anak itu meringkuk, tubuhnya kaku, matanya memohon pada siapa pun: pedagang sayur, ibu-ibu pembeli, tukang es, tapi tak satu pun berhenti. Orang-orang hanya menatap, lalu kembali pada urusannya. Dunia ini kejam terhadap yang lapar.
Sampai sebuah suara memecah udara.
“Hei! Cukup sudah!”
Suara itu dalam, berat, tapi tidak berteriak. Justru karena itu, orang-orang langsung diam.
Dari arah toko beras muncul seorang lelaki tua. Rambutnya putih, wajahnya berkerut, tapi sorot matanya tajam seperti tahu segalanya. Di tangannya, kipas bambu berayun pelan, gerakannya tenang, tapi mengandung wibawa yang tak terbantahkan. Koh Acung.
“Anak sekecil itu kalian pukul ramai-ramai? Aiyo…” katanya sambil menggeleng, “kalau lapar bisa dikasih makan. Tapi kalau hati sudah miskin, mau kaya pun percuma.”
Preman-preman itu saling pandang. Salah satunya menelan ludah. Tidak ada yang berani membantah. Mereka akhirnya pergi sambil mendengus, meninggalkan bocah itu tergeletak.
Koh Acung menunduk, lalu berjongkok di samping bocah itu. Tangannya yang kasar tapi lembut menyentuh bahu anak itu.
“Nama kamu siapa?”