Krematorium Aiden

Adeline Nordica
Chapter #4

Napas yang Tertinggal

Malam turun dengan sunyi yang ganjil. Krematorium itu sudah lama sepi, tapi udara di dalamnya masih menyimpan jejak panas. Dinding berwarna kelabu tampak mengelupas, dan tungku besar di tengah ruangan memuntahkan kepulan asap tipis yang mulai menipis jadi kabut arang. Bau logam terbakar dan lemak manusia menempel di udara seperti sesuatu yang enggan pergi.

Jaya berdiri di depan tungku yang kini telah padam. Di tangannya, sarung tangan kerja yang sudah robek di bagian telunjuk. Abu masih berputar di dalam udara, menari seperti serpihan salju hitam.

Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di sana. Mungkin lebih dari satu jam. Tubuhnya masih menggigil, bukan karena dingin, tapi karena bayangan yang terus menempel di kepala, wajah Alex yang terbakar, berteriak seperti seseorang yang terbakar dua kali: oleh api dan oleh rasa bersalahnya sendiri.

Ia menelan ludah, lalu berbisik lirih ke arah tungku.

“Semoga kau tenang di sana, Lex...”

Suara itu tenggelam, ditelan dengung kipas tua yang masih berputar di sudut ruang. Tapi di balik dengung itu, Jaya mendengar sesuatu, desisan kecil, mirip embusan napas dari dalam tungku.

Ia menoleh. Menunggu. Tidak ada apa-apa.

Tapi baranya… belum benar-benar padam.

Jaya mendekat perlahan. Abu yang seharusnya dingin tiba-tiba bergetar ringan. Ia merunduk, menatap lebih dekat ke dasar logam hitam yang berjelaga. Lalu sesuatu membuatnya membeku.

Di antara abu yang menumpuk, bentuk samar wajah manusia muncul. Lekuk rahang, tulang pipi, bahkan gingsul di atas gigi taring, semuanya menyerupai Alex.

Wajah itu seperti sedang tersenyum.

“Ya Tuhan...” Jaya mundur beberapa langkah, nyaris tersandung kakinya sendiri. Ia jatuh terduduk, punggung menempel pada dinding.

Ia memejamkan mata. “Itu cuma bayangan, cuma lelah...” gumamnya. Tapi saat membuka mata lagi, abu itu bergerak, membentuk pola yang lebih jelas dan dari sela-sela butiran arang terdengar suara kecil, seperti seseorang sedang menarik napas.

Ssshhh... Jaaaay...

Tubuh Jaya membeku. Suara itu samar, tapi jelas memanggil namanya.

Ia ingin lari, tapi kakinya berat, seolah disemen oleh rasa takut.

Tungku itu diam kembali, tapi hawa hangat aneh menguar dari dalamnya, menampar wajah Jaya dengan aroma besi terbakar.

Ia berlari keluar dari ruang kremasi, membuka pintu hingga engselnya menjerit panjang. Malam di luar lebih gelap dari biasanya, seperti menelan seluruh cahaya dari dalam bangunan itu.

**


Hujan mulai turun ketika Jaya menyalakan motor lawasnya, peninggalan Koh Acung. Knalpotnya batuk-batuk. Ia menarik gas dalam-dalam, berharap suara mesin bisa menenggelamkan gema suara di kepalanya.

Namun setiap tetes hujan yang menimpa helmnya terdengar seperti ketukan dari dalam logam tungku. Tok... tok... tok...

Seolah seseorang dari dalam memanggil minta dikeluarkan.

Ketika tiba di rumah kontrakannya, Yandi sudah tidur di ruang tengah. Tubuh anak itu meringkuk dengan selimut tipis.

Jaya mengganti bajunya yang basah, lalu duduk di kursi bambu di dekat pintu. Ia menatap gelap di luar jendela, menyalakan rokok. Asapnya berputar, membentuk pusaran kecil, lalu pecah di udara.

Dalam diam itu, ia seperti mendengar lagi suara Alex yang pernah bercanda di ruang kerja:

"Jay, orang mati cuma butuh dua hal: api dan waktu. Sisanya urusan kita."

Lihat selengkapnya