Sore itu, Krematorium Aiden sunyi. Bara yang sebelumnya menyala kini sudah padam, menyisakan tumpukan abu yang dingin. Aroma hangus masih menggantung, meski jauh lebih samar daripada beberapa jam lalu. Dinding krematorium yang retak-retak menampung bayangan lampu neon yang berkedip, sementara udara lembap menyelinap melalui ventilasi yang tersumbat debu. Debu dan abu beterbangan sedikit saat Jaya melangkah, menempel di kulitnya, membuat bulu tengkuknya meremang. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena sesuatu di dalam tungku menarik perhatiannya dengan cara yang tidak masuk akal.
Jaya menatap abu yang mengendap di dasar tungku. Sekejap, ia merasa tumpukan abu itu menatap balik. Awalnya samar, seperti asap tipis yang menari, namun semakin lama garis-garis itu membentuk wajah yang familiar, mata yang tajam, bibir tipis yang seolah tersenyum sinis. Ia menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Rasanya seperti mengenal sosok itu dari mimpi buruk yang belum pernah ia ceritakan pada siapapun.
“Jangan… jangan main-main sama aku,” gumamnya lirih.
Suara itu seperti terdengar dari dalam kepalanya sendiri, tetapi tak ada seorang pun di ruangan selain dirinya. Jaya mencondongkan tubuh, menatap lebih dekat. Abu itu seolah menyusun kembali sosok yang pernah ia kenal. Sekejap, bayangan itu bergeser, seolah menertawakannya.
Ia mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Tangannya menyentuh dinding dingin krematorium untuk menyeimbangkan tubuh. Malam-malam sebelumnya, Alex telah menunjukkan sisi gelapnya yang menakutkan—membawa mayat anak jalanan ke tungku, bermain-main dengan nyawa seperti mainan. Dan kini, di depan Jaya, abu yang dingin itu seolah menyampaikan pesan: Alex belum pergi.
Jaya mencoba menenangkan diri. Ia menyeka keringat di dahi.
“Itu cuma abu… cuma bayangan,” bisiknya, berusaha meyakinkan diri sendiri. Tetapi kemudian, suara samar itu terdengar lagi, nyaris seperti desir angin:
“Jangan kau lupakan aku…”
Jaya menoleh ke sekeliling ruangan. Lampu neon berkedip, memunculkan bayangan yang menari-nari di dinding retak. Abu itu tampak bergerak, bergeser sedikit, membentuk garis-garis seperti tangan yang meraih. Jaya mengambil sapu dan mulai membersihkan abu, berusaha menghilangkan bayangan itu. Tapi setiap kali ia menggerakkan sapu, bayangan itu selalu muncul lagi, seolah menertawakannya. Tubuhnya gemetar, dan ia mundur ke sudut ruang.
“Ini gila… aku gila kalau terus di sini,” bisiknya.
Langkah berat terdengar dari luar. Jaya menahan napas. Pintu krematorium terbuka perlahan, menimbulkan cahaya samar dari lampu lorong. Ia menoleh, setengah berharap itu adalah salah satu petugas yang datang. Tapi yang masuk hanyalah Helmy, pria INAFIS yang beberapa kali bekerja sama dengannya.
“Jaya?” Helmy memanggil lembut. “Sendirian di sini?”
Jaya menggeleng, mencoba menenangkan diri. “Iya, Pak. Aku… aku cuma memastikan tungku sudah dingin dan aman.”