Koh Acung berkacak pinggang di depan seorang remaja berusia tujuh belas tahun di emperan Toko Sejahtera miliknya. Sesekali ia berdecak miris mengamati sosok ceking si anak. Wajah dekil penuh debu, rambut gondrong tergerai sebahu, beralih ke kaus batman lusuh dengan robekan di ketiak, celana jeans belel sepaha yang dipotong asal, dan sendal jepit berbeda warna. Satunya berlis merah dan satunya hijau. Padanan mencolok untuk gaya anak muda saat itu.
Remaja itu makan dengan lahap nasi bungkus sambil duduk mencangkung. Tanpa menoleh sedikit pun untuk menawari tauke toko beras itu. Ada satu yang menarik dari mata, hidung, dan alis Jaya. Membuat Koh Acung kagum menatapnya.
"Berapa hari lu gak makan nasi?"
"Baru tiga hari, Koh. Sisanya minum air dan makan roti kalau dapat," jawab Jaya dengan mulut penuh nasi. Kali ini ia menggigit sepotong rendang.
"Kalau udah kenyang, langsung angkut beras ke gudang."
"Hah!"
Rendang di mulut Jaya mendarat mulus ke dalam bungkusan nasi yang tandas isinya.
"Iya. Kerja!"
Kali ini pria berkaus logo sebuah kretek itu melengos seraya mengipasi tubuh dengan kipas bambu. Hawa di Kota Tua semakin panas saja akhir-akhir ini.
"Bener kata orang, tauke di mana-mana pelit."
Jaya tersenyum miring. Dengan asal ia mengelap tangan ke kertas nasi, meremasnya, lalu melempar bulatan itu ke jalan pasar berdebu. Ia berjalan santai melewati Koh Acung dan truk beras. Bersiap mengambil ancang-ancang untuk kabur.
"Gak capek lu hidup gitu-gitu aja?"
"Ngapain Koh Acung peduli? Daripada aku jadi kuli di sini. Kerja rodi. Hiii ...." Jaya pura-pura bergidik.
Koh Acung menautkan alisnya. Ia terkekeh pelan.
"Lu, bener. Ngapain we peduli. Tinggal bilang lu di sini kalau tu preman nyariin."
Langkah Jaya membeku seketika. Kata-kata Koh Acung sontak membuatnya pias. Dikejar preman terminal mungkin adalah pilihan paling sial. Siapa yang akan menjamin kali ini ia nyawanya tidak menghadap Izrail jika kembali ke sana.
Terbayang tampang sangar Boy dan komplotannya. Preman itu bahkan pernah melenyapkan nyawa seorang pedagang asongan. Wajah dekil Jaya lesu seketika. Ia segera berbalik dengan gerakan lambat dan naik ke atas truk tanpa perintah.
"Lu ambil balik tu sampah. Lima orang kayak lu aja makin kotor ni pasar."
Jaya mengerucutkan bibirnya, turun dari truk dengan malas, memungut kertas nasi dan membuangnya ke tong sampah.
"Amat, jangan kasi santai dia kalau belum beres. Tu cungkring harus biasa angkat beban biar bagus ototnya. Ha ha ha." Tunjuk Koh Acung pada seorang kuli panggul di atas truk. Pria berusia lima puluh tahun itu berlalu ke dalam toko. Meninggalkan kekehan serupa Mak Lampir versi pria. Sementara di atas truk beras, tubuh Jaya sudah lemas seketika
***
Subuh merangkak pagi ketika Jaya menemukan kegaduhan di depan toko. Ia yang baru selesai sarapan bubur ayam di gang depan pasar. Uang hasil menguli seminggu ini di toko beras.
Ia menemukan tubuh berkaus putih dan bokser kotak-kotak menjadi bulan-bulanan dengan beberapa preman. Pedagang lain hanya bisa menonton seraya bergidik. Sedangkan mbok-mbok penjual sayur sudah berteriak-teriak meminta tauke tua itu dilepaskan.