Aroma kopi Arabika dari meja di samping ranjang menggelitik penciuman Alex. Sepasang bola mata beriris cokelat itu mengerjap ketika mendapati sinar matahari pagi menerobos melalui tirai putih jendela. Semalam ia memang memaksa matanya terpejam, tapi pikirannya justru mengembara entah kemana, menyisakan pening di pagi hari.
Percintaan di kitchen bar bukan seperti yang diharapkan. Ia harus bermain seraya berpikir beragam taktik supaya Soraya dengan rela hati jatuh pada pelukannya. Nyatanya, wanita itu benar-benar tangguh. Tiga puluh menit Alex terbuang percuma menahan gairah dan kekesalan dengan sikap dingin Soraya. Tidak ada respon selayak pasangan normal lainnya selain kepura-puraan. Alex harus menerima kenyataan bahwa kamar mandilah tujuan akhir dari hasrat menggebu seperti yang sudah-sudah.
“Aku ada rapat bersama karyawan kantor. Mungkin malam hari akan pulang. Kau istirahat saja. Sepertinya pikiranmu belum tenang,” kata Soraya seraya memulaskan gincu merah marun. Terlalu mencolok untuk dandanan rapat. Kecuali, hari ini ia sedang berusaha menguasai audien dalam tender besar. Ia hanya menoleh sekilas pada suaminya yang menyibak selimut.
Tidak ada sahutan. Alex malah meraih cangkir, lalu menyesap khidmat kopi kesukaanya. Setidaknya cairan hitam itu mampu membuat relaks daripada mendengarkan basa-basi Soraya.
“Jangan terlalu kau tampakkan keterpurukanmu saat bertemu ayah. Ia bisa mencium gelagat aneh dari jarak sepuluh meter.”
Wanita berbalzer hitam dan rok span senada itu mendekati Alex. Parfum beraroma citrusnya hampir membuat Alex berimajinasi liar andai saja ia tidak melihat wajah datar istrinya.
“Pergilah. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Soraya tersenyum. Ia belum benar-benar yakin akan kondisi Alex, tapi rapat penting tidak mungkin ditunda begitu saja. Mungkin ia akan menelepon asisten rumah tangga mereka untuk memastikan keadaan pria di hadapannya. Tangan halus Soraya meraih tas hitam di bufet. Sosok itu menghilang dari balik pintu setelah mengecup kilat pipi suaminya.
Kamar kembali hening. Hampa. Seakan mahkluk di dalamnya hanya sekadar singgah. Alex beranjak menuju pintu kamar. Masih mengenakan kaus putih dan boxer biru ia menuruni anak tangga. Desain rumah nan mewah dengan arsitektur klasik, serta perabotan mahal di sepanjang ruang justru menambah kesan angkuh dan dingin.
Mata Alex tertuju pada foto pernikahan 24 R di hadapannya. Ia memandangi lekat-lekat, lalu mendengkus. Tidak ada ocehan anak-anak selama lima belas tahun pernikahan mereka. Hanya ada empat asisten rumah tangga dan dua tukang kebun.
Asmara meletup-letup di awal pertemuan hingga semester pertama pernikahan, nyatanya tidaklah bertahan lama. Memasuki enam bulan berikutnya semua kembali ke sedia kala. Alex selalu merasa sudah mengerti akan belahan jiwanya itu , tapi ia keliru. Soraya bagai kotak misteri. Ia harus menebak-nebak seperti apa kemauan wanita berusia tiga puluh lima tahun itu hingga kini.
“Anak-anak itu sangat menggemaskan.” Alex menunjuk dua orang anak berusia tiga atau empat tahun yang sedang bermain di taman kota.
Wajahnya sangat antusias. Ada binar di matanya. Tawa renyah mereka membuat Alex terkesima. Sebuah pancingan bagi Soraya yang tengah meregangkan otot-ototnya dibalik setelah pakaian olahraga. Kala itu mereka selesai lari-lari pagi.
“Lekuk tubuhku akan berubah seperti karung gandum jika melahirkan,” jawab Soraya sekenanya seraya menunjuk tonjolan di dada dan bokongnya yang menggiurkan.
“Tapi kita perlu anak-anak untuk meramaikan rumah sepi kita. Kau pasti suka melihat tingkah dan ocehan mereka.”