"LISAAAA!!!"
Teriak seorang gadis yang selalu bikin ulah dimanapun ia berada. Ya, siapa lagi kalau bukan Alena.
Gadis cantik yang memiliki rambut panjang tergerai namun diikat setengah itu tengah berlari menuju ruang kelasnya.
Dengan penuh percaya diri dia berjalan melewati koridor kelasnya dengan selalu menebar senyuman pada setiap orang yang ia jumpai disana.
Bagi teman dekat atau teman sekelas Alena, mereka tidak akan terkejut dengan sifat super ceria Alena bagaimanapun keadaannya. Ntahlah, sepertinya gadis ini tidak mempunyai perasaan.
Seolah tidak kehabisan tenaga, Alena selalu menebar senyuman hingga gigi putih bersih nan rapi itu terlihat bahkan sampai giginya mengering karena keseringan tersenyum.
"Apaan sih Lo, berisik banget bocah!" Lisa menoyor kepala Alena saat ia sampai di kursi tempat duduknya. Lisa memang seperti itu, cuek, tomboy.
Walaupun namanya seolah feminim namun kenyataannya sebaliknya. Sepertinya saat ibu Lisa mengandung ia menginginkan seorang anak laki-laki dan yang lahir adalah perempuan jadilah seperti itu.
"Alena udah putus sama Roy." Jawab Alena sambil tetap riang gembira. Lisa kadang heran dengan sahabatnya itu.
Kebanyakan wanita itu setelah putus akan menangis, bucin nya bakal sampe ubun-ubun, update status galau. Tapi Alena? Malah nyengir ngga jelas. Dengan santay mengatakan bahwa ia baru saja putus. Seolah tak terjadi hal yang menyakitkan.
"Aelah lo ya Len, baru juga empat hari pacaran, udah putus lagi? Makin numpuk aja tuh yang namanya mantan" Lisa menggeleng tak percaya, masa paling lama pacaran cuman seminggu sih, konyol.
Alena memang tidak benar-benar cinta pada pria itu. Alena hanya haus akan cinta. Otak minimalis yang Alena punya dan ia selalu bangga-banggakan itu hanya berfikir apabila ia sering pacaran maka ia akan faham apa arti dari cinta.
Seperti cinta papanya pada almarhum mamanya yang sangat besar, jika saja bintang bisa dengan mudah digapai mungkin saja papanya Alena sudah berikan beribu-ribu bintang kepada mamanya sebagai tanda cintanya yang amat begitu luas dan tak terhingga seperti jumlah sudut pada lingkungan.
"Ya mau gimana lagi Lisaaa!!! Alena tuh ga cinta!!!" Jawab Alena sembari memunculkan sifat kekanak-kanakan nya. Alena dengan Lisa itu udah kayak nasi goreng tanpa kecap. Tak terpisahkan, ya kalo terpisahkan jadinya hambar, gaenak.
"Makannya kalo ga cinta jangan langsung di pacarin. Lagian gue heran sama lo, gabisa bedain mana naksir, suka liat doang, sama cinta aja udah sosoan langsung macarin cowok" marah Lisa seolah sedang PMS. Emang ya, si Alena itu bisa buat mood Lisa turun secara drastis, bahkan anjlok tuh ampe dasar-dasarnya badmood.
"Kok Lisa sensi banget sih? Gak kaya biasanya. Kenapa sih?" Tanya Alena tanpa rasa bersalah dan dengan tatapan lugunya.
"Gak kayak biasanya gimana? gue setiap kali lo teriak-teriak gajelas terus bilang putus aja langsung bikin mood gue jalan ampe dasar dasar per - badmoodan gue tau ga sih lo? aelah gue lupa, gue kan lagi ngomong sama orang yang isi kepalanya kosong, mana faham." gerutu Lisa sembari menidurkan kepalanya di meja dengan tangan yang dilipat sebagai bantal nya.
"Iiihh Lisa! Gini-gini juga Alena ngerti kali gimana perasaan seseorang dari raut wajahnya, Ini pasti Lisa lagi ada masalah sama Rian kan?" Tebak Alena tepat pada sasaran. Emang sih si Alena tuh pinter banget nebak satu kondisi dari raut wajah, hal ini yang membuat Lisa mampu bertahan menjadi sahabat Alena. Untung masih punya kelebihan tuh si Alena hahaha.
"Ahh biasa deh, Rian itu selalu aja cuekin gue. Bahkan, kemaren dia riject terus panggilan gue dan gue chatt pun ga dia bales" ucap Lisa kembali membangunkan kepalanya dari meja.
"Lisa, Lisa itu jangan selalu nething deh ke Rian. Siapa tau dia lagi ngobrol sesuatu yang serius sama orang tua nya. Jadi ga angkat dan ga bales pesan dari Lisa."
"Tapi kan setelah nya bisa ngabarin gue kek, inimah boro-boro ngabarin balik. Kesel gue jadinya!" Bentak Lisa.
"Tuhkan, nething lagi. Siapa tau Rian ketiduran jadi ga ngabarin Lisa balik."