Krisis Moral

Dodi Spur
Chapter #2

Yang Penting Jantan

“Aku telah bersumpah untuk tidak hidup sebagai laki-laki yang tidak mencapai apa-apa dalam hidupnya!” Sumbarnya sambil mengepalkan tinju ke langit. Ia melangkah yakin menuju pelabuhan. Di kiri dan kanan di antara rumah-rumah, pertokoan, dan tepi jalan yang berpohon Akasia, langkahnya terus menggelinding. Umbul-umbul dan barisan tiang bendera merah putih berbaris mengantarnya pergi, sebab ini hari pertengahan Agustus. Bulan yang sering menjadikannya panitia lomba makan kerupuk, namun kali ini ia lupakan demi sebuah pencarian besar.

Teman-temannya di kampung menyayangkan kepergiannya, ia adalah orang yang asik untuk nongkrong dan main domino di warung, teman yang asik juga untuk bekerja serabutan di kantor kelurahan. Saking banyak temannya, dari warung kopi sampai kantor kelurahan memberinya buah tangan untuk dibawa pergi. Tasnya penuh barang pemberian. Kalau dia sudah punya kemauan, maka tak satu pun kejadian akan mengurungkannya. Ia tetap pergi, walaupun pak lurah menjanjikannya ladang untuk diurus dan bu lurah menjanjikannya dibuatkan toko obat pertanian untuk usaha.

“Terimakasih atas tawaran bapak dan ibu, kepergianku bukanlah semata-mata urusan ekonomi. Hari ini adalah hari yang kunanti sejak kecil.”

“Kau orang yang rajin dan jujur, kapan pun kau kembali, kami akan menerimamu.” Begitu kata bu lurah.

Dan ia tersenyum, lalu pergi.

“Aku mau ayah, Ibu!” Begitulah ia merengek menuntut sosok ayah kepada ibunya yang kebingungan, dan itu terjadi bertahun-tahun lalu, ketika ia masih kekanakan. Kini ia telah tumbuh dan mendewasa, ia bisa mencari ayahnya sendiri sembari mencari penghidupan yang lebih baik.

Di atas dek kapal ekonomi yang melaju membelah lautan biru, pikirannya berbenturan antara masa lalu dan rencana-rencana ke depan. Ia mulai berpikir strategi-strategi guna bertahan hidup. Ada uang beberapa lembar, ada pengalaman kerja, ada mental baja. Senyumnya tipis menghibur diri sendiri. “Aku pasti bisa!”

**

Kurang sesuai dengan harapan, kini ia memegang kemoceng, lap kain, dan kanibo kesat. Berderet rak-rak buku catatan sewa menyewa memenuhi ruangan. Di ruangan yang sama ketiga temannya sibuk dengan urusan masing-masing. Terdiam ia mengamati, belum ada hal rumit yang bisa ia kerjakan, kecuali menyapu, ngepel, dan membersihkan debu yang menempel pada benda-benda. Dan terkadang juga membersihkan toilet dua hari sekali. Hal-hal demikian dirasanya jauh lebih ringan daripada harus membuat pembukuan sewa menyewa maupun mencatat transaksi jual beli suku cadang yang memusingkan kepala, belum lagi menghitung uang dan menafsir untung atau rugi selama sebulan atau setahun. Bisa mati muda jika aku harus bergelut dengan angka-angka dan target, ucapnya kadang-kadang demi menyaksikan temannya di bagian administrasi dan marketing.

“Haha, jangan malu, Boy, segalanya harus dimulai dari bawah.” Rius yang rendah hati dan banyak tertawa menepuk pundaknya, seakan tahu betapa tak berharganya yang ia lakukan.

“Prince pernah bilang,” Rius meneruskan, “Kalau hidup adalah pertautan antara proses dan misteri, kalau kau mau bersusah hari ini, hari esok pasti selamat. Nikmatilah, terkadang kehidupan memang berat. Haha”

“Siapa itu Prince?” (Dibaca PRIN-CE bukan PRINS)

“Belum saatnya kau kenal dia.”

“Nama yang menjijikkan, Hiiii Prince.”

Demi mendengar nasehat Rius yang seorang marketing berbadan rapi dan wangi. Sekilas sempat pikirannya sendiri mempecundangi, bahwa pekerjaan ini tak layak bagi seorang yang pandai seperti dirinya, apalagi ijazahnya yang diploma, cukup tinggi untuk sekedar memegang sapu dan pel. Ia menggeleng-geleng mengusir pemikiran pesimisnya, lalu bergumam “Yang penting halal! Yang penting halal! Yang penting halal!”

Pekerjaannya kini memang hanya tukang lap, tukang sapu, sudah tentu tak sesuai. Tapi sepandai-pandai seseorang ia tak pernah makan ijazah, tentunya ia makan nasi dan lauk pauk. Tanpa mental baja dan sikap merendah, hanya akan tinggal gengsi tak berguna. Begitulah kehidupannya di daratan pertama yang tersinggahi selepas sebuah kampung di lereng Gunung Lawu.

Seminggu yang lalu.

Matahari merah merona hanya nampak di pagi hari, lalu bersembuyi, mendung menyusul bergulung-gulung dari barat daya, disorong angin ke arah timur, bergumpal-gumpal, berjejalan menjadi awan kumulonimbus. Petir menyambar-nyambar, sekejap hujan tumpah, bulirannya sekepal-kepal. Laut beradu dengan beliung dan hujan.

Lihat selengkapnya