Pelabuhan Kota B, lima menit lagi. Penumpang yang jumlahnya tak dapat dihitung berdesakkan menuju pintu keluar, antre untuk turun berjejal-jejal. Suara gaduh bersahut-sahutan, tawa pertemuan atau nafas besar perantauan, gumam ibu-ibu bawel, tangis bayi kegerahan, bunyi mesin dan klakson kendaraan sejauh telinga mendengar. Cokro tengah kemas-kemas di geladak dalam. Barang bawaan telah beres, tinggal hanya tikar, koran, atau sampah-sampah yang sengaja tertinggal di geladak. Beberapa anak buah kapal divisi kebersihan tengah memulai pekerjaannya.
Ini kali pertama Cokro pernah naik kapal, ia hendak mengenangnya sepanjang hidup, jangan sampai pengalaman sekecil apa pun hilang begitu saja. Sebab, bisa jadi hal-hal seperti ini tak akan terulang lagi di masa mendatang. Ya, siapa yang tahu nasib umur, begitulah pendapat Cokro, sebabnya ia rajin menulis segalanya di buku catatan.
Pengumuman kapal telah sampai di Kota B beberapa kali dikumandangkan. Belum hendak ia turun, malah iseng berdiri merebahkan punggung pada besi pembatas. Ia melamun sejenak dan menyadari satu hal, bahwa kini langkahnya telah jauh, dan ia sadar tak pernah sendirian, ada jutaan orang yang hendak berjuang seperti dirinya, mengadu nasib di perantauan. Di tempat ini ia membuat janji, “Aku tak akan takut lagi, apalagi menyesal, lebih baik pulang nama daripada jadi pecundang.” Dermaga yang indah tempat pertemuan dan perpisahan.
Suara gaduh berangsur padam, tanda meneruskan perjalanan. Ia langkahkan kaki menuruni tangga besi bersama doa yang dipanjatkan dengan nafas panjang.
Menjelang malam, pelabuhan tak hilang kesibukan. Beberapa kapal sedang merapat melempar jangkar, kontainer dan kotak barang diangkat, truk-truk antar pulau berjajar menunggu giliran, buruh dan kuli angkut pelabuhan bahu membahu menuai harapan. Langkah Cokro menggelinding beriring semua pemandangan.
Cokro mulai berpikir sambil memandangi langkahnya sendiri, pada sepatu kulit hitam keras yang bergonta-ganti, kiri dan kanan. Jaket sengaja tak ia kancingkan, biar terlihat sangar dan jagoan. Juga ransel hanya dikenakannya pada satu bahu. Ia membayangkan dirinya adalah pemeran utama dalam satu judul film. Pria norak dari kampung akan menaklukkan dunia.
Berbekal alamat pada selembar kertas sobekan, ia tanyakan pada orang berjaga, berseragam biru muda dengan sejuta embel-embel Dinas Perhubungan. Petugas itu menuntun pikirannya dengan jenis-jenis angkot dan nama tempat pemberhentian. Tak ada pilihan selain mempercayai.
“Permisi, tahu alamat ini, Pak?”
“Masuk.” Jawab si sopir angkot.
Cokro pun masuk, beramah tamah dan permisi pada penumpang lain, lalu beroleh satu tempat duduk. Wajah si sopir tak bergairah, kaki malasnya menginjak pedal gas, penumpang lain terkantuk-kantuk bersandar jendela atau lengannya sendiri. Selain Cokro, yang lain tengah bosan, mungkin dilahirkan dan besar di kota ini, sehingga pemandangan ini sama sekali tidak menarik hati mereka. Cokro akan menyesal seumur hidup, jika melewatkan ini semua, mata ia siapkan untuk perjalanan singkat ini, sebab baginya tak semua hal bisa diabadikan secara detail melalui foto atau tulisan, hanya mata dan kenangan yang bakal mengabadikan segalanya sampai matinya seseorang.
Gemerlap lampu pertokoan berbaris sepanjang jalan protokol, jalanan yang ramai dan pengendara-pengendara motor pria dipeluk oleh pacarnya, lumayan mengusir bosan seorang perjaka seperti Cokro, gedung-gedung tinggi menjulang, tak ubahnya seperti Jakarta di barat sana.
“Ini tempat turunnya, Mas, yang pakai jaket!?” Seru sopir.
Cokro turun, lamunan belum lagi usai, tak ada waktu buat meneruskan.
**
Cokro berjalan lagi dan lagi, langkah demi langkah teruskan pengembaraan, tanyakan alamat pada satu-dua orang yang papasan, berjalan terus dan terus. Setengah jam melangkah, berkeringat gerah, jaket ia lepas selempangkan seperti tas. Beberapa tukang ojek tawarkan jasa, ia gelengkan kepala hanya demi menghemat pengeluaran. Langkah berhenti pada kios ukuran mini, membeli air mineral, menghela nafas dan bersumpah ingin cepat-cepat makan lalu tumbangkan diri di kasur.
Rumah kecil berdempet-dempet di sepanjang gang ia lewati, lalu bertemu jalan besar gelap. Dan ia temukan rumah besar dengan cat dinding berwarna krem, nomornya sama dengan yang di catatan. Nampaknya tidak salah, seperti yang diberitahukan oleh ibunya.
Pintu terbuka lebar, pedalamannya bersih, meski perabot-perabot pada berdesakkan. Jam dinding menunjuk angka sembilan lebih sedikit. Dari celah pagar nampak dua remaja, lelaki dan perempuan, sepertinya kakak beradik, keduanya duduk akrab menonton televisi. Sejenak Cokro dengar apa-apa yang mereka obrolkan, sedang tebak-tebakan iklan yang tengah tayang, setiap iklan berganti mereka begitu berisik, hanya iklan rokok yang membuat mereka kebingungan, sebab tak pernah ada orang yang merokok di dalam iklan rokok.
“Selamat malam.”
“Kak, ada tamu.” Kata Selly kepada Dino, dua remaja tadi, mereka terheran-heran memandangi kilatan gigi tonggos milik Cokro.
“Om, siapa?” Sapa Dino, menemui ke depan pintu.
“Aku Cokro, Bude ada?”
“Bude?”
Cokro berpikir, “Panggil saja ibumu.”
“Iya, tunggu sebentar.”
Cokro mengangguk.
Bude Marlina, yang merupakan sepupu jauh dari ibunya menyambut dengan ramah, ia jabat tangan Bude Marlina, lalu mencium tangan itu jua. Bude Marlina agak khawatir jika punggung tangannya tersentuh gigi tonggos itu.
“Jadi kamu yang bernama Cokro?”
Cokro mengangguk dua kali sembari tersenyum menyembulkan gigi tonggosnya.
“Duduklah, kubuatkan minum.” Titah Bude Marlina sambil berjalan ke arah dapur dan diam-diam mencuci tangan memakai sabun, khawatir punggung tangannya terkena gigi Cokro sewaktu salaman.
Cokro mengambil tempat dekat kipas yang menyala, ia hembuskan nafas panjang kelegaan.
Bude Marlina datang lagi, memberinya minuman dingin sirup rasa leci, lalu pamit menyiapkan kamar untuknya. Cokro nampak rikuh dan mati-matian bersikap ramah, bagaimana pun malam ini adalah kali pertama ia bertemu Bude Marlina.