Popularitas adalah hal yang tak diharapkan Krisna ketika ia tumbuh. Lahir dari keluarga yang awalnya sederhana membuat Krisna pun tumbuh dengan prinsip sederhana. Ia hanya ingin menjalani hidup dengan tenang dan berkecukupan. Tak membuat orang tuanya kecewa apalagi merasa gagal mendidik anak. Serta menjaga kakak semata wayangnya yang kini berkuliah di sebuah fakultas negeri.
Hanya itu saja.
Namun, bukan berarti Krisna benci apalagi menolak. Siapa yang tidak suka ketika kehadirannya diakui dan perbuatannya dipuji? Selama itu tidak berlebihan, Krisna nyaman dengan orang di sekitarnya. Walau tentu saja, diam-diam banyak mata yang menyembunyikan kesinisan dibalik binar ramah mereka.
Krisna tak peduli. Ia tak bodoh sampai bisa dimanfaatkan. Ia juga tak jahat untuk terlalu memanfaatkan. Sejauh ini, bisa ia katakan hidupnya berjalan dengan sangat mulus.
Banyak peristiwa telah terjadi dan Krisna yakin ia selalu menyelesaikan semua dengan baik. Pasti termasuk kali ini.
Sayangnya Krisna tak menyadari, kalau itu sebuah kesombongan.
Bersedekap menatap seorang gadis kecil—well, mungkin dia lumayan tinggi tapi perbedaan fisik tetap terlihat, jadi bagi Krisna, dia tampak agak kecil—yang sedang gelisah di depannya. Gadis berambut sepunggung yang diwarnai kilau kecokelatan, sesuai dengan matanya yang juga cokelat tua.
Tentu saja, Krisna menilainya secara fisik. Dia lumayan cantik. Meskipun tidak bisa dibilang sangat cantik, tapi untuk ukuran rata-rata, dia setidaknya berada di puncak standar. Tubuhnya memang kecil tapi terlihat normal. Rambutnya lurus rapi terurai ke belakang, di atas tudung hoodie-nya yang juga berwarna cokelat.
Sekali lihat juga sudah jelas dia menyukai warna itu.
Lalu untuk sikap, baiklah. Gadis ini, yang belum menyebutkan namanya siapa—dan karena dia memakai hoodie, Krisna tak bisa melihat name tag seragamnya, mengajak berbicara berdua di belakang tembok pembatas. Tempat sepi yang agak mencurigakan dalam beberapa hal tertentu.
Untuk sesaat, Krisna menyimpulkan kalau dia satu dari sekian gadis yang berani menyatakan perasaan. Namun dari caranya gugup, dan tatapan gelisah yang cenderung takut-takut itu, Krisna jadi ragu.
Tidak terlihat ada perasaan suka di sana. Justru Krisna yakin kalau ada yang melihat ini, kesan yang tampak akan seperti ia membully seorang gadis di belakang sekolah yang sepi.
Yah, Krisna akan menganggap ini adalah satu dari sekian hal biasa yang bukannya penting untuk dipikirkan.
Gadis ini bilang, dia ingin mengatakan sesuatu dan mendesak bahwa tidak boleh ada yang tahu.
Menghela napas, Krisna melirik sekitar.
Tataannya jatuh pada pohon lebat yang berada tepat di belakang punggung gadis cokelat ini, kemudian segera beralih untuk membahas tujuan mereka kemari.
"Jadi?" Popularitas membuat Krisna sadar harus memiliki citra publik. Ramah, cool, ataukah diantarannya. Dan Krisna memilih untuk membuat citra tegas. Ramah tapi tidak naif. Jadi ia melayangkan tatapan biasanya. Namun berusaha sedikit lebih lunak karena gadis ini malah terlihat seperti tikus ketakutan.
Hah!
"Nama lo?"
"A-Arumi, Kak." Dia menjawab sambil menunduk ragu.
"Nah, Arumi. Lo enggak manggil gue buat nunggu gue yang nanya duluan, kan?"
"E-enggak, Kak! Enggak kok." Dia mendongak panik. Lalu menggeleng mempertegas penyangkalannya.
Krisna jadi agak penasaran. Apa hal yang dia sampaikan akan penting untuknya?
"Se-sebenernya," Arumi seolah bertarung dengan diri sendiri hanya untuk mengucapkan sepatah kata, "gue mau minta tolong, Kak."
Saat itu, rasa tertarik Krisna seketika pudar.
Secara otomatis ia meninjau ulang penilaiannya.
Pertama, gadis ini ingin meminta tolong padanya, yang sama sekali tidak mengenal dia, dan tentu tak punya urusan dengannya. Kedua, apa dari sekian banyak orang di sekitar sini, hanya Krinsa yang mampu menolongnya? Tidak mungkin, kan? Lalu ketiga, kenapa dia berpikir Krisna mau membantunya?
Tentu, menolong orang lain adalah sebuah kewajiban bagi manusia. Tapi menurut Krisna, itu tidak berlaku bagi mereka yang tampak baik-baik saja, tak tampak perlu pertolongan, tapi malah datang meminta tolong.
Kecuali—
"Minta tolong apa?"
Arumi menggigit keras bibirnya. Seolah menolak mengatakan sesuatu namun juga memaksakan diri.
Terlepas dari keanehannya, Krisna diam-diam tersenyum. Dia manis.
"Bi-bisa enggak, Kak, gu—gu-gue ... gue—"
"Gini, Arumi." Jujur, dia lucu saat gugup. Tapi Krisna tak punya banyak waktu.
Sekarang sudah jam setengah enam sore. Orang tuanya menunggu untuk makan malam bersama nanti. Kakaknya juga akan sebal kalau Krisna pulang terlambat. Jadi meskipun agak kasar, ia harus menyingkat waktu di sini.
"Kayaknya masalah lo agak berat. Tapi waktu gue enggak banyak. Kalau lo mau ngomong, ngomong aja. Enggak usah takut."
"Maaf." Dia menunduk sedih. Membuat Krisna merasa sedikit bersalah, tapi tak menyesal karena ia hanya jujur.
"Bisa langsung ke intinya? Lo mau gue ngapain?" Tentu saja, Krisna tak bilang akan membantu. Minatnya menolong Arumi hanya satu dari seratus persen.
Setidaknya ia bersedia mendengar.
"Maaf sebelumnya, Kak." Dia semakin menunduk. Tak lagi gugup, melainkan terdengar sangat sedih. "Kalau bisa, kalau bisa, gu-gue boleh enggak, ngaku jadi gebetan lo?"
Krisna tercengang untuk beberapa detik. Namun dengan cepat ia menguasai diri, dan menganalisis situasi.
Haruskah ia tertawa dan mengatai gadis ini sinting?
Haruskah ia mengejek dan mengatakan dia bodoh?
Tidak. Krisna tidak mau melakukan itu.
Setelah cukup lama menatap kepala Arumi yang tertunduk, ia menghela napas. Kebingungan jelas melandanya. Ia bahkan ragu harus merespons seperti apa.
Ternyata ini pernyataan cinta.
"Maksudnya lo suka sama gue?"
"Bukan!"
Krisna tercengang. "Bukan?"
"Ma-maksudnya, maksudnya bukan gitu, Kak. Gue suka sama lo, kok." Arumi salah tingkah. "Ma-ma-maksud gue, sebagai adek kelas, gue hormat sama lo. Iya. Itu maksudnya. Bu-bukan suka itu kok, Kak. Serius."
Lalu untuk apa dia meminta jadi gebetan?
Krisna menyipit. Ia sempat berpikir gadis ini sedang cari perhatian saja. Dan tingkahnya palsu. Tapi, pernyataannya membuat Krisna ingin bertanya lebih.
Kalau dia memang tidak menyukainya sebagai lawan jenis, untuk apa dia membutuhkan tittle gebetan di antara mereka?
Melirik jam tangannya sebentar, Krisna menghela napas.
Butuh waktu setengah jam sampai di rumah—akan lebih cepat kalau tidak macet—sementara ia juga harus mengantar seseorang disela-sela waktu itu. Jam makan malam sekitar pukul tujuh, tapi Krisna juga ingin mandi lalu beristirahat sejenak sebelum duduk di meja makan.
Sepuluh menit. Itu waktu maksimal yang bisa ia berikan pada gadis ini, untuk mendengar penjelasannya.
Dan sebelum itu, Krisna berkata, "Jujur, jawaban gue, enggak."
Arumi melebarkan mata, lalu terkulai tak berdaya.