Seorang Krisna Adipati punya satu kebiasaan buruk yang mampu membuat segala pesona menyilaukannya seketika pudar.
Yaitu tidur seperti orang mati.
Sungguh, percayalah itu tidak berlebihan.
Dan karena itu pula, seperti biasa, pagi ini Riria harus pergi ke kamarnya. Menggedor seperti orang gila. Namun Krisna sama sekali tak bergeming dari selimutnya.
Bertahun-tahun ia melakukan ini dan sepertinya bertahun-tahun pula Riria harus dibuat darah tinggi. Gedoran pintu gila-gilaan itu hanya pembukaan saja. Setelah tangannya sakit dan tenggorokannya kering akibat berteriak, Riria masuk dengan wajah dongkol.
Ingin rasanya ia menendang Krisna. Karena amat tidak cocok dengan citra yang selama ini dia tebarkan, dia malah punya kebiasaan terkutuk seperti ini.
Oh, ayolah. Bagaimana dia bisa tertidur pulas sedangkan Riria sudah berteriak histeris?
"Kris!!" Riria menarik selimutnya, tapi Krisna hanya sedikit bergerak. Itupun karena tarikan selimut tadi. "Krisnaaaaa!!! Bangun, dong! Akh!"
Bersedekap, Riria sebal bukan main. Bagaimana sih, caranya membangunkan dia kemarin? Apa ia harus selalu mengandalkan keberuntungan dari teriakannya? Yang harus puluhan bahkan ratusan kali cuma untuk mencapai kesadaran Krisna?
"Krisna! Bangun, Kris! Aku ada kuliah ini, ikh! Bangun! Bangun, bangun, bangun! Kris, banguuuuuun!!"
Tak hanya mengandalkan teriakan, Riria mengguncang lengan Krisna. Sungguh bersusah payah agar adik bodohnya ini mau meninggalkan mimpi dan menghadapi dunia nyata.
"Krisnaaaa!!!"
Riria berdecak. Baru ia akan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil sejumlah air, suara ponsel yang ia tak kenal terdengar. Itu bukan suara nada dering ponsel Krisna yang biasa, tapi suaranya berasal dari kasur.
Mengurungkan niatnya menyiram Krisna, Riria melompat ke kasur. Tentu saja, ia sengaja menimpa sebagian tubuh Krisna, hingga adiknya seketika terlonjak kesakitan.
"Akh!" Krisna heboh melindungi perutnya yang mendapat sapaan dari sikut Riria. "Ri-Riria." Krisna bersuara lemah karena kesakitan. Mirip orang diambang kematian karena sekarat kehabisan darah.
"Bangun!" sahut Riria santai. Meraba ke dalam selimut dan mendapatkan sebuah ponsel yang berdering di bawah bantal.
Untuk sesaat, ia mengernyit. Krisna tak punya ponsel putih. Dia selalu membeli ponsel hitam. Dan tipe iPhone ini, sama dengan ponselnya tahun lalu. Tapi warnanya bukan putih, melainkan rose gold.
Apa Krisna membeli ponsel baru?
Penasaran, Riria berniat mengecek isinya. Tapi ia memicing tak senang karena ponsel itu dilengkapi password. Seingatnya, ponsel Krisna tak memakai password apa pun. Dia bilang percaya diri kalau ponselnya tak mungkin diperiksa orang. Selain itu Krisna merasa tak benar-benar punya rahasia sampai harus memberi pengaman pada ponsel yang selalu dia bawa. Karena dia hanya akan memperlihatkan ponsel itu pada orang-orang tertentu.
Ponsel siapa ini?
"Kris!" Dia sudah bangun, tapi Krisna masih memilih berbaring. Mungkin menenangkan diri dari kejutan tadi atau menahan sakit dari sikutan maut. "Ini HP siapa?"
Suara ponsel tadi berasal dari sebuah panggilan. Karena terlalu sibuk memikirkan soal ponsel, Riria tidak sempat menjawabnya. Ia juga mendapati kalau panggilan itu bukan hanya sekali. Ada sekitar lima panggilan tak terjawab.
Atas nama ... Mine?
Mine? Mi-ne? Siapa itu?
"Kris! Ini HP—"
Panggilan masuk lagi. Kali ini Riria tidak menunggu. Ia langsung menerima panggilan, mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Kak—"
"Halo—"
Secara bersamaan, dua suara berbenturan. Suara perempuan di ujung sana, dan suara Riria yang langsung menghilang, begitu tahu si penelepon adalah perempuan.
Ia terpaku. Lalu terkejut ketika Krisna merebut ponsel yang masih menempel di telinganya, setelah mendengar si penelepon mematikan panggilan tanpa sebab.
Riria tak mungkin salah.
Kalau wajah yang Krisna pasang saat menyambar ponsel itu, adalah wajah kesal yang tidak wajar.
***
Arumi menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur dengan wajah pucat pasi.
Sial, ia mendapat masalah besar.
Kenapa perempuan yang menjawab panggilannya? Siapa dia? Apa Krisna sedang melakukan sesuatu yang—yah, begitulah—dengan seorang perempuan dan seharusnya ia tak menelepon?
Tapi kan, dia dikenal sebagai prince perfect yang apalah itu sempurnanya karena menghargai perempuan. Apa tipe pangeran begitu juga bisa main nakal dibelakang?
Aib tersembunyi?
Dan ....
Arumi belum lupa apa yang Krisna katakan kemarin malam. Saat ia dengan lesu memikirkan soal perbuatan bodohnya, sebuah panggilan dari nomor teleponnya sendiri datang.
Tentu saja, ia tahu kalau itu maksud Krisna dari perkataannya soal akan menelepon nanti.
Ia juga menunggu telepon itu karena merasa panik.
"Ha-halo, Kak." Mulutnya masih sering terbata ketika berbicara dengan Krisna.
Jujur, ia tak terbiasa dengan perubahan tiba-tiba ini. Kemarin pagi mereka belum saling mengenal, dan tiba-tiba malamnya sudah berstatus kekasih palsu.
Biarpun palsu, sulit untuk menghilangkan rasa canggung. Lagipula ia bukan pemain film yang bisa memainkan peran pacar dengan seorang laki-laki asing.
"Ya. Lo belum tidur?"
Tapi berbeda dengannya, Krisna begitu santai. Entah dia tidak begitu peduli, atau karena dia merasa harus profesional setelah mendapat bayaran mahal.
Ck. Arumi menggigit kuku ibu jarinya ketika mengingat kesepakatan bodoh mereka.
Ia memang berpikir menyerahkan ponsel dan kalung itu. Tapi bukan seperti apa yang terjadi.
Rencananya Arumi akan menawarkan uang sedikit demi sedikit. Ia akan mulai dari tawaran paling rendah dan ia siap kalau Krisna menawarnya. Lalu untuk berjaga-jaga, Arumi menyiapkan ponsel mahal pemberian ayah angkatnya untuk dijadikan penawaran gelombang kedua. Tentu saja ia akan berusaha keras agar Krisna berhenti pada penawaran itu saja.
Kalung ia bawa hanya untuk berjaga-jaga, dan dengan harapan besar bahwa tak mungkin Krisna mendapatkannya.
Tapi Arumi bodoh. Mengeluarkan semua hartanya begitu saja cuma karena Krisna meminta. Dan pemuda ini ... dia juga bodoh!
Sial!
Arumi tentu saja berpikir Krisna orang yang realistis. Dia tak punya kesan pura-pura cool di depan orang. Jelas kalau dia pintar dalam berbagai aspek.
Namun berpikir kalau dia akan mengambil semuanya.
Ugh! Ular berbisa.
Apa mungkin dia sengaja menunjukkan kesan penolakan di awal untuk meyakinkan Arumi bahwa apa pun yang ia tawarkan tak menarik, lalu di akhir, seperti yang sudah terjadi, Krisna merampas semuanya?
Memang sih, tidak salah, kalau dilihat dari sisi bisnis (gelap). Orang selalu berusaha mendapatkan keuntungan paling besar. Tapi, demi Tuhan, apa dia harus serakus itu?
Huh!
Percuma ngeluh.
Arumi meredakan kekesalannya sebelum menjawab Krisna. "Belum, Kak." Mana bisa tidur kalau habis dirampok?!
"Oke. Berarti lo punya waktu ngobrol, kan?"
"Iya, Kak." Setidaknya dia mengerti apa yang harus dilakukan.
Mereka perlu melakukan diskusi peran. Kecuali kalau dia mau berlaku tidak tahu diri dan benar-benar cuma meminjamkan namanya saja. Bagaimanapun Arumi tak mau rugi. Ia harus membuat Ayumi percaya kalau Krisna takluk padanya.
"Kalau gitu, biar lo yang mulai. Gue dengerin ide lo."
Sejenak, Arumi termenung. Memikirkan baik-baik apa yang harus ia katakan—karena kehilangan uang, ponsel, bahkan kalung peninggalan ibunya membuat Arumi tahu ceroboh bisa berakhir fatal.
Dan penyesalannya sungguh menyesakkan.
"Pertama. Mungkin gue harus mastiin status lo, Kak."
"Status gue?" Krisna membalas tak minat.
Membuat Arumi membuat wajah kesal mumpung seniornya ini tidak melihat. Beken sih, tapi sungguh dia membuat Arumi ilfil. Matre, tidak punya perasaan pula.
"Maksud gue, gue minta jadi pacar lo sebulan. Tapi pacar lo gimana? Ya, maksud gue—"
"Apa jadi pacar berarti harus ngikutsertain kehidupan pribadi?"
Normalnya iya. Kalau pacarnya enggak diikutin sama kata palsu. "Umm .... Iya ... mungkin?"
"Jadi gue harus ngasih tau lo nama bokap nyokap gue plus biodata lengkapnya sampe makanana kesukaan kakak gue juga?" Krisna menghela napas seolah Arumi sangat bodoh untuknya. "Gue inget kesepakatannya soal lo minjem nama gue."
Orang ini ....
Arumi menggigil karena jengkel. Ingin rasanya ia melahap ponsel di tangannya sekarang.
"Tapi karena gue 'kasian', gue setuju buat jadi pacar lo. Gue mau lo inget itu baik-baik."
Kenapa tiba-tiba dia jadi antagonis? "Iya, Kak."
"Oke, lepas dari itu, Arumi. Gue mau diskusi soal peran. Bukan urusan pribadi. Gue udah setuju, jadi masalah gue punya pacar atau enggak, itu enggak masuk kontrak urusan kita."
"Gue cuma enggak mau dapet masalah kalau pacar lo atau siapa pun itu tau." Arumi membalas jengkel walau ia masih berusaha sopan. "Biasanya masalah lebih berat ke perempuan, Kak."
"Ya, gue ngerti. Soal itu gue jamin enggak." Krisna masih saja bersikap enteng. "Terus, ide lo apa?"
Bau-baunya seperti dia minta ide hanya untuk mengejek. Arumi jadi tidak percaya orang ini bisa diandalkan.
Akh, ia semakin menyesal sampai mau menangis kencang sekarang.
"Menurut gue, masalah paling pentingnya, gimana supaya Ayumi tau. Juga bikin dia percaya."
Krisna terdiam sebentar. "Lo bener. Itu poin utamanya."
Gue kira dia bakal bilang 'emang itu maksud gue, dasar manusia bego' atau sejenisnya, gitu. Arumi menghela napas. Yah, tau sih dia sebenernya bisa diandelin. Makanya gue minta tolong. Tapi please deh, gue kesel dulu enggak pa-pa, kan?
"Makanya gue nanya soal lo punya pacar atau enggak. Buat nentuin tindakan yang boleh sama yang enggak boleh."
"Soal itu, anggep aja enggak penting. Terus, tindakan yang lo maksud kayak gimana?"
Arumi menggigit bibir ragu. Ia terdiam sampai Krisna malas menunggu.
"Lo enggak perlu takut ngomong. Gimanapun gue udah ngambil bayarannya."
Tuh, kan! Arumi menguatkan diri sendiri. Orangnya aja ngaku. Tapi kalau dipikir-pikir harusnya gue kasih DP dulu bukannya langsung bayaran penuh. Gimana kalau dia pura-pura enggak tau? Biarpun dia bilang kontrak bisnis, nyatanya enggak ada tanda tangan resmi sama sekali.
Ayolah, Rum. PD, PD!
"Be-berangkat bareng?"
Krisna terdengar mendesah. "Gue juga mikirin itu tadi. Tapi, artinya gue mesti ke rumah lo?"
"Enggak bisa yah, Kak?"
"Bukan enggak bisa atau bisa. Kalau gue jemput lo, bokap nyokap lo gimana? Lo mau bilang kalau gue pacar lo? Bisa, sih. Tapi artinya lo bohongin orang tua. Bukannya gue mau sok suci, tapi kasian kalau cuma gara-gara itu doang lo sampe bohong." Krisna lebih bijak dari yang ia kira. "Lagian gue liat lo enggak punya bakat bohong. Lo gampang panik, didesak dikit langsung ngaku. Mending jangan, deh."
Gue kutuk lo jadi kecoak! Arumi berteriak dalam hati.
"Terus gimana?" Karena sebal, Arumi sepenuhnya lupa sopan santun. Ia hampir membentak saking jengkelnya.
Menyesal Arumi memandang tinggi cowok ini.
"Hmmm." Krisna bergumam samar ketika berpikir. "Ayumi biasanya berangkat sama siapa?"
"Berangkat sama temennya, sih. Gengnya, maksudnya."
"Lo berangkat sendiri?"
"Iya, Kak. Emang kenapa?"
"Biasanya lo berangkat duluan atau Ayumi duluan?"
Arumi mengingat-ngingat kebiasaannya dan Ayumi. Meski tidak setiap hari, sepertinya ia lebih sering berangkat duluan ketimbang Ayumi. Lagipula ia berjalan kaki dan jarak sekolah terbilang sangat dekat. Sementara Ayumi naik mobil dengan kawan-kawannya dan kadang terlambat karena sering mampir ke tempat lain.
"Gue mungkin bisa jemput lo, tapi enggak di rumah lo. Gimana kalau gue jemput lo di luar kompleks? Kalau bisa sih, jalan yang sama yang dilewatin Ayumi. Atau kalau enggak bisa, gue jemput agak jauhan dikit dari depan rumah lo."
Ternyata dia berguna. Huh, mungkin dia setengah iblis setengah malaikat. "Boleh, sih, Kak. Berarti gue mesti berangkat bareng Ayumi tiap pagi?"
"Ya, usahain lo keluar bareng."
"Boleh." Melupakan kekesalannya, Arumi tersenyum. Kemajuan. "Boleh, Kak. Nanti gue kirimin alamatnya."
"Oke. Telfon gue paling enggak setengah jam sebelum lo berangkat."
"Siap, Kak."
Krisna sepertinya juga tersenyum karena suaranya jadi lebih ramah. "Terus yang kedua, masih soal action, interaksi kita di sekolah, kan?"
"Nah, itu, Kak."
Kecanggungan hilang untuk sementara waktu ketika Arumi semakin tenggelam dalam obrolan yang menurutnya sangat penting—dan mahal—ini.
"Sama satu lagi, sih. Sori sebelumnya, tapi gue mau lo pertimbangin soal medsos juga. Gue takut Ayumi malah enggak percaya. Gimanapun sekarang sosial media punya posisi penting buat ngeyakinin orang-orang. Apalagi buat Kakak yang terkenal di sekolah."
"Jadi maksudnya kita mesti ngumbar soal itu juga di sosmed?"
"Enggak bisa yah, Kak?"
Krisna terdiam lagi. Kali ini, cukup lama. "Sebenernya gue mau nolak. Tapi kayaknya itu penting. Paling enggak gue minta waktu sedikit. Sehari dua hari paling enggak baru gue konfirmasi. Sekarang mending kita fokus soal di sekolah."
Semoga dia setuju. "Iya, Kak."
"Lo punya usulan buat itu?"
Mendengar pertanyaan itu lagi, Arumi mengerutkan kening. Sejak tadi ia memikirkannya. "Kok kesannya lo nganggep gue pasti udah punya rencana?"
"Ya karena terlepas dari kenyataan lo agak bego, gue akuin lo lumayan kreatif mikirin soal cerita." Krisna tertawa mengejek. "Gue cuma minta usulan. Belum tentu gue setuju."
"Kalau gitu, Kak Krisna sendiri emang punya ide apa? Masa gue mulu yang mikir!"
"Kenapa gue harus ikutan mikir?"
"Ya karena gue udah bayar—"
"Hmpf!" Krisna malah tertawa. "Bukannya lo cuma mau minta status? Cuma nama gue doang. Tadi kan, gue bilang, gue mau ngelakuin peran pacar karena gue 'kasian'. Bukan karena kontrak enggak nyata."