Kritikus Adinan

Bentang Pustaka
Chapter #1

Pengarang dan Obsesinya

Pada suatu malam di sebuah restoran di Jakarta, datanglah serombongan orang yang baru saja selesai menghadiri sebuah acara tidak jauh dari restoran. Mereka adalah pengarang, kritikus, penerbit, editor, wartawan, pemain film, sutradara film, bintang iklan, dan entah apa lagi. Salah seorang anggota rombongan adalah saya sendiri.

Ada juga beberapa filantrop yang suka menjadi sponsor berbagai kegiatan kesenian, dan karena itu akrab dengan para seniman. Karena kami mempunyai perhatian sama, maka bagaikan pepatah Inggris, “Birds of the same feather flock together”, yaitu burung yang sama bulunya akan hinggap bersama, kami pun dapat bercakap-cakap dengan bebas.

Akan tetapi, jumlah rombongan terlalu banyak. Mau tidak mau kami tidak bisa duduk mengelilingi satu meja, tetapi agak berdesak-desakan di sekeliling sekian banyak meja. Suara musik pun menggebu-gebu, dan karena itu percakapan kami sering tersendat.

Ketika seorang pengarang dekat meja saya berkata bahwa dia menyukai seorang pengarang Inggris yang tidak perlu saya sebutkan namanya di sini, saya langsung dapat memperkirakan dua hal. Pertama, saya bisa memperkirakan siapa kiranya pengarang-pengarang lain yang dia sukai. Kedua, saya bisa memperkirakan apa yang dia tulis dan bagaimana dia menulis.

Lalu, saya sebutkan beberapa nama pengarang lain yang kira-kira dia sukai. Perkiraan saya, kata dia, benar. “Dengan demikian, kira-kira saya bisa mengetahui apa yang kamu tulis dan bagaimana kamu menulis.” Saya hanya berkata dalam hati dan tidak menanyakannya karena, sebetulnya, saya sudah pernah membaca beberapa novel dia.

Pada waktu kami bercakap-cakap, di meja lain ada pengarang lain yang tergabung dalam rombongan kami. Karena tempat pengarang ini duduk agak jauh dari meja saya, dan suara musik sering mengganggu percakapan, saya tidak sempat bercakap-cakap dengan dia. Namun, percakapan akhirnya kami lakukan, setelah kami meninggalkan restoran itu, kemudian dengan naik beberapa mobil, kami menuju ke tempat lain untuk menyewa ruang karaoke khusus bagi rombongan kami.

Sebetulnya saya tidak suka karaoke, dan juga tidak suka suasana karaoke dan tempat-tempat lain semacam itu. Namun, karena malam itu saya tidak perlu mengerjakan apa-apa dan keesokan harinya saya harus kembali ke Surabaya, saya ikut. Lalu, sebagian rombongan kami berkaraoke, sementara yang lain-lain, termasuk saya, menonton dan bercakap-cakap kalau kebetulan tidak bising.

Entah berapa lagu sudah dikaraokekan saya tidak ingat, tetapi pasti sudah puluhan lagu. Pengarang yang tadi di restoran duduk di meja lain beberapa kali berkaraoke dengan penuh semangat. Dia benar-benar hafal dan benar-benar menghayati sekian banyak lagu.

Sementara itu, saya sudah pernah membaca novel pengarang ini, dan karena itu saya tidak heran ketika menyaksikan dia dengan penuh semangat berkaraoke. Mengapa? Karena dari novelnya dapat diperkirakan bahwa referensi dia menulis novel, antara lain, adalah dunia pop, sebagaimana misalnya komik dan sekian banyak lagu mengenai cinta.

Setiap orang tahu, sementara itu, bahwa cinta menduduki tema sentral dalam sekian banyak lagu, khususnya lagu pop. Namun, ingat, tidak semua lagu pop itu cengeng. Banyak juga lagu pop yang bertutur secara indah makna filosofis cinta dan kehidupan, demikian pula komik. Dalam novelnya, dia sanggup meramu mana yang murni pop dan mana yang serius dan filosofis. Dia patut dihargai.

Demikianlah, malam itu, kesadaran saya bahwa masing-masing pengarang pasti mempunyai kepribadian sendiri-sendiri, sekali lagi, terbukti. Semua pengarang sepanjang malam sampai fajar tiba pada waktu itu, langsung atau tidak, dan sadar atau tidak, mengisahkan konsep kepengarangannya. Konsep masing-masing pengarang tentunya tumbuh dengan sendirinya, tanpa bisa dipaksakan, karena pada hakikatnya, masing-masing pengarang menulis berdasarkan kepribadiannya sendiri.

Sekitar empat jam setelah masuk kembali ke hotel dari karaoke dan beristirahat sebentar, saya sudah berada di lapangan terbang Cengkareng, siap untuk naik Garuda ke Surabaya. Tanpa saya duga sebelumnya, ternyata tidak jauh dari tempat saya duduk ada teman saya duduk berhadapan dengan seorang perempuan cantik. Mereka tidak sadar bahwa saya bisa melihat mereka dengan jelas.

Lihat selengkapnya