SELALU, selalu saja jam karet. Tien tadi mengatakan penguburan ayah Corrie akan dilakukan pukul sepuluh. Dan, aku sudah berdiri di muka pekuburan ini mulai pukul setengah sepuluh sampai sekarang ini pukul sepuluh lebih sepuluh, barisan pengantar jenazah belum juga datang-datang.
Aku masih ingat ketika tadi Tien membangunkan kemarahanku. Aku masih sakit. Dan, kurang ajar betul dokter-dokter yang selama ini merawatku, katanya aku tidak apa-apa, tapi kenyataannya sampai saat ini aku masih merasa sakit. Dan, pagi tadi aku ingin tidur sepulas-pulasnya sebab dengan tidur sepulas-pulasnya mungkin aku bisa sembuh. Tetapi, Tien gedor-gedor pintu rumah. Kurang ajar betul, terpaksa aku bangun. Aku harus berjalan sempoyongan ke arah pintu, yang terus terang saja menambah rasa sakitku.
Akan tetapi, ternyata Tien membawakan berita kematian, mau tidak mau aku tidak jadi marah. Tapi, apa yang aku herankan, adalah muka Tien yang luar biasa itu.
“Mengapa, Tien, kau kelihatan begitu pucat?” tanyaku, yang tentu saja tidak sopan.
Tien seorang perempuan, dan aku laki-laki. Meskipun kami bersahabat baik, menanyakan muka pucat sebetulnya tidak sopan.
Dan, Tien tidak menjawab. Entah bagaimana, seolah di luar kontrol diriku sendiri, keluar lagi kata-kata dari mulutku yang lebih tidak sopan daripada yang tadi:
“Lho, Tien, mengapa kamu sekarang mendadak ubanan? Mengapa kamu sekarang mendadak kelihatan tua sekali?”
Tien tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sekali tidak menyenangkan hatinya ini. Dia hanya mengulangi supaya aku siap-siap di pekuburan menjelang pukul sepuluh.
Tien tidak mungkin menipuku. Dia orang jujur. Dia selalu berbuat baik, dan selalu berusaha untuk menolong orang lain. Dan, kalau ayah Corrie meninggal, itu pasti betul. Beberapa hari yang lalu aku menerima surat dari Corrie yang mengatakan keadaan ayahnya sangat payah. Tapi, karena aku sendiri sakit, aku tidak balas surat itu. Jadi, tidak mungkin kalau Tien mengada-ada. Ayah Corrie memang meninggal, dan akan dibakar hari ini juga, seperti yang dikatakan Tien tadi. Tapi, selalu, selalu saja jam karet.
Anak-anak kecil yang kebanyakan membawa arit rupanya tidak sabar melihat aku berdiri lama di muka pekuburan. Rupanya mereka ingin sekali aku suruh untuk membersihkan salah satu pekuburan di situ dan mendapatkan upah. Itulah pekerjaan mereka. Mereka mengeksploitasi orang mati dan pekuburan itu hidup mereka. Kalau kita punya seorang kenalan atau sanak keluarga yang dimakamkan di situ dan kita tidak mengupah mereka, jangan heran kalau mereka nanti merusak makamnya. Atau memberakinya.
Aku jadi benci pada anak-anak macam itu. Tapi, aku juga jadi benci pada Bapak Wali Kota dan Bapak-bapak Wakil Rakyat yang mengurus kuburan saja tidak becus. Aku jadi benci pada mereka, benci sejadi-jadinya. Orang datang ke kuburan sama dengan mempersilakan dirinya untuk dirampok. Sekian anak-anak akan mengeroyokmu, semuanya minta dipersen uang. Belum lagi pegawai-pegawai pemerintahan kota yang ada di situ, mereka juga memeras siapa saja yang datang ke kuburan.
Baru menjelang pukul setengah sebelas, aku lihat ada iring-iringan pengantar jenazah. Akhirnya datang, setelah terlambat sekian lama. Tapi, aneh sekali, iring-iringan ini sama sekali tidak kelihatan khusyuk. Wajah-wajah pengantarnya tidak melihatkan tanda duka. Ini aneh sekali. Aku tahu ayah Corrie masih muda. Dan, setiap orang muda mati pasti dia ditangisi sejadi-jadinya. Dan, kalau yang mati orang yang sudah tua yang sudah tidak dibutuhkan tenaganya, yang hanya menjadi beban orang lain saja karena sudah tidak mampu lagi bekerja, tak akan banyak orang yang menangisi. Atau mungkin malahan kematian itu disambut lega oleh mereka yang ditinggalnya. Dan, rupa-rupanya orang-orang yang mengiringkan jenazah ini tidak menunjukkan rasa duka. Yang meninggal pasti bukan orang yang masih muda. Bagaimanapun, aku harus berdiri dan menunggu di sini. Pekuburan ini merupakan pegunungan kecil. Jauh letaknya dari jalanan besar. Dan, mayat yang akan dikebumikan harus dibawa ke atas bukit kecil. Aku harus terus berdiri, sampai iring-iringan itu dekat benar dengan aku. Aku harus memberi penghormatan. Tapi, aduh, alangkah payahnya berdiri. Alangkah pusingnya kepalaku. Ingin rasanya aku duduk, atau tiduran kalau mungkin. Tapi, itu tidak mungkin. Aku harus berdiri. Dan aduh, alangkah memusingkannya pukulan angin yang memukul-mukul keras ini. Angin naik dari bawah, dari arah iring-iringan itu, juga datang dari atas, tempat berbaringnya entah berapa ribu mayat dalam pekuburan itu. Aku paling takut angin, dan dokter-dokter yang memeriksaku melarangku benar-benar untuk bergabung dengan angin.
Dan, yang lebih mengherankan aku lagi, mengapa pengiring jenazah itu semuanya tua-tua. Mereka berjalan seolah tak acuh, menuju tempatku berdiri. Di belakang barisan ini anak-anak kecil dengan membawa clurit membuntuti mereka, sambil mengacung-acungkan tangan mereka minta sedekah. Betul-betul keparat anak-anak macam itu, mereka selalu hidup memeras kerabat orang yang mati dan merusak kuburan-kuburan kalau mereka tidak dikasih uang cukup banyak.
Iring-iringan ini akhirnya mencapai tempatku berdiri. Aku melangkah ke pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Tapi, mereka sama sekali tidak mengacuhkan kehadiranku di situ. Iring-iringan yang semuanya orang-orang yang sudah tua itu sama sekali tidak mengacuhkan aku. Beberapa orang di antara mereka mengeluarkan peti mayat dari kereta, dan kemudian diletakkan di atas tanah. Peti ini nanti akan digotong ke bukit sana sebab kereta ini mungkin tidak dapat dibawa ke atas. Mereka masih saja tidak mengacuhkan adanya aku di situ.
Seorang pendeta, yang juga tua, berdiri di situ. Dia juga tidak memedulikan adanya aku di situ. Dia asyik membuka-buka buku, yang mungkin nanti akan dijadikan bahan khotbah. Seorang temannya, yang juga sudah tua, tapi kelihatan agak muda daripada pendeta ini, datang mendekatinya. Dia juga sama sekali tidak memedulikan kehadiranku di situ.
“Tragis, tragis sekali,” gumam teman pendeta itu.
Aku jadi berpikir-pikir, bahwa yang dimaksudkan tragis ini adalah kematian orang yang sekarang terbaring di peti mati itu, dan yang sedang disiapkan akan diangkat ke atas itu.
“Tragis, tragis sekali,” gumam teman pendeta itu sekali lagi, karena tadi tidak ditanggapi sama sekali oleh si pendeta. Si pendeta kelihatan agak jengkel, menutup bukunya kemudian menoleh kepada temannya, lalu berkata:
“Lebih tragis lagi di Jogja, setidaknya ketika aku masih di sana, sekitar tahun lima delapan-enam puluhan. Bayangkan, di sana ada dua tempat beribadah yang letaknya berdekatan, dekat juga dengan RRI yang mestinya mengumandangkan anjuran-anjuran bermoral yang baik. Tapi, apakah yang terjadi sekitar tempat itu? Sekitar tempat itu dipergunakan sebagai arena pelacuran!”
Aku sekarang baru bisa menangkap apa yang dimaksudkan dengan kata tragis tadi. Karena daerah ini memang tempat pelacuran yang memang sudah dilegalisasi oleh Pemerintah Kota. Aku menjadi makin benci kepada Bapak Wali Kota dan Bapak-bapak Wakil Rakyat yang menggelimangkan mayat-mayat yang seharusnya beristirahat dengan tenang, tapi toh masih diganggu oleh pelacur-pelacur. Memang kabarnya pelacur-pelacur itu main di dalam rumah atau gubug-gubug, tapi siapa tahu, sekali tempo mereka juga menjalankan maksiatnya di atas pekuburan.
Mereka mengadakan sedikit upacara. Mungkin mereka sebentar lagi mengusung peti itu ke atas sana. Pendeta itu makin tekun mempersiapkan bahan pidatonya. Aku jadi heran, betul-betul heran. Di antara sekian wajah yang ada di sini, tak satu pun yang kukenal. Mestinya Corrie hadir di sini, mestinya Tien juga hadir di sini. Tidak mungkin kalau mereka tidak hadir di sini. Aku jadi bingung, karena itu aku menegur pendeta yang berdiri di dekatku:
“Maaf, bolehkah aku bertanya, apakah yang meninggal ini beliau yang rumahnya di Jalan Kranggan?” Aku tanyakan itu karena aku yakin benar bahwa Corrie tinggal di sana. Tapi, pendeta ini sibuk dengan bukunya. Terpaksa aku ulangi lagi pertanyaanku, dengan suara lebih keras, tapi lebih sopan. Dia masih tetap sibuk dengan bukunya. Aku terpaksa bertanya lagi.
Mula-mula dia melirikkan matanya kepadaku, tapi kemudian menolehkan mukanya penuh-penuh menghadap mukaku. Aku jadi heran memandang sikapnya ini, yang seolah-olah memandang aku dengan penuh kecurigaan. Dia memandangiku dengan sepuas-puasnya, mulai dari ujung sepatuku sampai ujung kepalaku. Terpaksa aku mengulangi pertanyaanku tadi. Dia kelihatan makin curiga, dan kata-katanya yang tegas makin mengherankan aku:
“Saudara mengapa berdiri di sini? Saudara, kan, orang sakit. Tidak seharusnya Saudara ada di sini, lebih baik Saudara tiduran saja di rumah,” katanya.
Aku berusaha untuk menggagah-gagahkan sikapku, kemudian dengan lantang aku berkata:
“Biar, itu urusanku sendiri. Aku hanya ingin tanya apakah yang meninggal ini beliau yang tinggal di Jalan Kranggan? Aku tadi menerima kabar bahwa beliau akan dibawa ke sini. Aku akan memberi penghormatan terakhir kepada beliau.”