Penyair Besar turun di Stasiun Gubeng. Panitia yang minta Penyair Besar untuk memberikan ceramah, sudah menjemput di Stasiun Gubeng itu. Sebagai lazimnya orang baru ketemu, mereka bersalam-salaman.
“Kami sudah menyiapkan tempat untuk Anda, Penyair Besar,” kata seorang penyambut, lalu disambung, “Anda kami inapkan di Hotel Simpang, dan ceramah Anda bisa dimulai besok pagi pukul delapan di gedung Balai Pemuda. Sepanjang jalan nanti akan Anda lihat banyak plakat-plakat yang kami buat untuk menyambut Anda.”
Penyair Besar tersenyum-senyum senang. Dia senang akan sambutan semacam ini meskipun dalam hati kecilnya dia tidak senang akan segala macam upacara, tidak senang akan segala macam resmi-resmian. Belum sempat dia mengucapkan terima kasih dan belum sempat dia mengatakan bahwa sebetulnya untuk menyambut dia tidak perlu diadakan upacara formal-formalan, sebuah tangan menjawil pundak Penyair Besar. Ketika Penyair Besar menolehkan mukanya kepada si penjawil, terlukislah senyuman lebar menghiasi wajah Penyair Besar. Demikian juga si penjawil, tersenyum lebar, lalu mengajak salaman Penyair Besar. Penyair Besar gembira sekali, ketemu teman lamanya Penyair Kecil.
“Maaf, saudara-saudara panitia,” kata Penyair Kecil. Lalu disambung, “Penyair Besar ini kawan akrabku yang sudah lama tidak pernah saling ketemu. Izinkan supaya dia menginap di tempatku saja. Tentu saja tempatku tidak istimewa seperti Hotel Simpang, tapi relakanlah Penyair Besar menginap di tempatku saja.”
Belum sempat panitia memberikan jawaban dan belum sempat pula Penyair Besar berbicara apa-apa, Penyair Kecil menggelandang temannya, Penyair Besar. Ketika panitia mengajukan protes, Penyair Kecil gigih dengan pendiriannya, dengan mengatakan bahwa Penyair Besar adalah teman akrabnya. Karena pendirian Penyair Kecil diiyakan oleh Penyair Besar, panitia terpaksa mengalah.
“Kita nanti akan tidur satu kamar, biar bisa ngobrol seperti dulu ketika kita masih sama-sama menjadi mahasiswa,” kata Penyair Kecil.
Malam itu betul-betul Penyair Besar berada satu kamar dengan Penyair Kecil. Suasana yang begitu akrab memang dapat mengungkit kenangan mereka ketika masih menjadi mahasiswa, yang kebetulan mereka hidup di satu pemondokan dan satu kamar dulu.
“Panitia ceramah itu memang kurang ajar,” kata Penyair Kecil. “Mereka itu orang-orang yang sebetulnya tidak tahu sastra. Sebagian mereka menganggap bahwa sastra sama dengan politik. Sebagian mereka menganggap bahwa sastra sama dengan ludruk atau ketoprak, seni rakyat yang tidak intelektual itu. Belum lagi korupsi yang mereka lakukan. Mereka berusaha untuk menyambut kau besar-besaran, diinapkan di hotel segala itu perlunya untuk korupsi. Itulah kalau orang tidak tahu apa itu sastra sebenarnya, dan tidak tahu apresiasi sastra yang sebenarnya. Kalau mereka betul-betul tahu sastra, mereka pasti minta pendapatku juga. Mereka seharusnya juga memasukkan aku sebagai anggota panitia. Tapi, karena mereka tidak punya apresiasi sastra yang benar, mereka tidak tahu siapa aku, dan tidak mengajak aku dalam panitia.”
“Kau masih menulis puisi?” tanya Penyair Besar.
“Aku terus menulis puisi. Banyak sekali puisiku. Salah satu sebab mengapa kau kuajak ke sini karena aku ingin minta nasihatmu mengenai puisi-puisi yang aku tulis.”
Penyair Kecil pergi sebentar mengambil beberapa rim kertas, semuanya bertuliskan tangan.
“Inilah puisi-puisiku yang aku tulis selama beberapa tahun.”
Penyair Besar tampak heran juga melihat Penyair Kecil yang begitu produktif.
“Mengapa tidak kaukirimkan ke majalah-majalah sastra?” tanya Penyair Besar.
“Huh, kiramu begitu, Penyair Besar? Aku sudah kirimkan ke mana-mana, tapi ditolak. Justru itulah aku minta pendapatmu.”
Penyair Besar mengambil selembar kertas di antara sekian banyak lembar kertas.
“Nah, itu salah satu sajakku yang indah, tapi ditolak,” kata Penyair Kecil.
Penyair Besar tertarik juga akan penjelasan Penyair Kecil. Segera Penyair Besar membaca sajak di hadapannya itu:
Senja
Namanya tidak penting
Sudah hampir seminggu jadi senja
Amat bisunya sejarah: kuketuk pintunya dan aku
menunggu