Langit malam berkuasa, melesap seluruh hingar-bingar kesibukan manusia kota dengan hitam pekat dibungkus gerimis. Termasuk mall besar di pusat Kota Bandar Lampung, seketika lengang. Lampu pijar yang membuat pengunjung lupa suasana langit di luar mulai gelap, sudah dipadamkan. Tersisa beberapa bohlam kecil menyala temaram.
"Gelep amat?" Rio memutar kepala menatap sekeliling, seorang security di seberang berjalan sambil mematikan setiap saklar putih yang dilewatinya. Bohlam-bohlam perlahan mati bersamaan langkah security yang melenggang jauh.
"Pak, tunggu. Saya baru selesai nonton di dalam. Pak, berhenti Pak. Tunggu." Pria berkaos navy berlari dari karpet tebal teras bioskop.
Bohlam terakhir dimatikan, Rio terus berlari menuju pintu kaca besar setebal 5 cm di lantai dasar. Security hilang di teras luar, tidak kembali meski Rio sejak tadi berteriak. Suara kepalan tangannya yang berdebam di pintu kaca juga tidak membuat security kembali, meski ada CCTV yang merekam otomatis tersambung ke pos jaga security di luar.
"Mampus gue, nggak lucu nih tidur di mall. Besok meeting supervisor." Rio bicara di tengah kegelapan, mengeplak dahinya yang mulai berkeringat. Mengandalkan senter ponsel, berjalan cepat mengelilingi setiap jengkal lantai mall yang mulai sumpek dan mencekam. Rio mencari kamar mandi di lantai dasar, ia yakin ada celah untuk keluar.
"Ah, bodok amat ama setan. Lebih serem Pak Togar kalau ngamuk karna gue nggak hadir besok." Rio terus nyerocos sambil mencari jalan keluar. Langkahnya terhenti, berbisik membaca tulisan brand yang terpampang besar—Adidas Sport Station. Ia menempelkan wajahnya ke dinding kaca, mengintip deretan sepatu kets di rak display.
Rio terus mengamati koleksi kaos jersey di rak gantung display, seandainya aku bisa membawa pulang satu dengan gratis. Atau kubuat supaya gratis?. Mall ini tidak akan jatuh miskin karena kehilangan satu kaos, biarlah karyawan yang patungan mengganti nanti, anggap-anggap gue ngebantu mereka untuk sedekah. Ide nakalnya muncul seraya mendorong handle pintu kaca.
Kejadian ajaib terjadi sebelum Rio berkedip, pintu kaca yang ia buka justru membuatnya berpindah ke lantai puncak mall, tepat menghadap spanduk besar—bazar toko buku yang digantung. Tidak ada kaos jersey putih dengan lis garis hitam seperti yang diincarnya tadi. "Apa-apaan ini?" Jakun Rio bergerak, menelan ludah dalam-dalam.
Tangannya gemetar mencari ponsel dan tas ranselnya yang mendadak hilang. Beberapa bohlam kecil mulai menyala dari arah utara, membuat dinding pembatas lantai mall menjadi sedikit terang. Rio tak membuang waktu, mencoba fokus untuk bisa keluar secepatnya agar besok tidak terlambat meeting tanpa memikirkan penyebab kejadian-kejadian aneh yang tengah ia alami.
Rio berlari mencari lift, eskalator dan tangga darurat namun anehnya semua fasilitas itu tidak ada dimanapun. Rio berjalan ke setiap gerai hampir sepuluh kali, dan selalu berhenti di tempat yang sama. Seperti terjebak di labirin berdinding kaca.
"Hey, siapa yang ngerjain gue! SUMPAH, INI NGGAK LUCU SAMA SEKALI. SINI LOE KELUAR, KITA DUEL SECARA LAKI-LAKI!" Suara Rio bergema ke seluruh lantai mall.
"AYOLAH, KELUAR SIAPAPUN. HADAPI GUE, KITA SELESAIKAN PERMAINAN INI!" Rio bersungut, wajahnya merah padam penuh amarah. Sebuah moncong senjata api laras panjang berwarna hitam menempel di tengkuk Rio, menekan urat besarnya. "Angkat tanganmu, dan berbaliklah anak muda. Hanya ada satu pintu keluar dari sini," ujar seseorang di belakang Rio.