Katanya masa akhir sekolah menjadi momen paling tidak terlupakan bagi semua siswa. Masa itu diwarnai dengan soal-soal ujian yang yang tak jarang membuat mereka stress, mencari informasi sekolah lanjutan, berkumpul lebih sering dengan teman-teman, melakukan hal-hal gila di semester akhir, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan aneh lainnya. Mungkin karena pertemuan yang berulang kali itu membuat mereka menjadi dekat dan sering melakukan sesuatu bersama-sama. Makanya dikatakan 'momen sekolah paling menyenangkan adalah saat kelas 3'.
Tapi hal-hal gila dengan teman itu tidak berlaku padaku. Kelas 3 SMP ini aku hanya fokus belajar dan mencari calon SMA-ku. Bukannya tidak punya teman. Meskipun aku pendiam, aku memiliki beberapa teman. Mereka baik dan perhatian. Tapi mereka tidak segila yang kalian pikirkan. Tipe anak-anak kalem dan taat aturan, sesuai keinginanku. Sampai saat ini aku belum merasakan 'kegilaan' dengan mereka. Bagaimana tidak, kami hanya bertemu 8 jam sehari selama 6 hari dalam seminggu. Itupun hanya di sekolah. Membicarakan PR, tugas, latihan ini-itu, pokoknya semua hal yang berkaian dengan pelajaran. Kadang-kadang kami memulai topik tentang hobi masing-masing. Ya, memang membosankan. Aku kira ini terjadi karena kami adalah orang-orang yang agak tertutup mengenai kehidupan pribadi sehingga pertemanan kami tidak begitu dekat. Tapi ada satu di antara mereka yang bisa membuatku lepas. Dia tetanggaku dan aku sering main ke rumahnya. Namanya Adin.
"Din, aku ke rumah kau, ya!" Aku memulai chatting BBM dengan Adin.
"Yoiiii," Seperti biasa, dia selalu menerimaku. Dia juga anak yang santai. Tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil.
"Otw."
Jarak rumahku ke rumahnya hanya seling 1 masjid dan ruko 3 pintu. Tak lupa ritualku ketika sampai di rumah Adin, memberi salam ke orang rumah.
"Om Buyung! Laris manis?" Aku tersenyum. Om Buyung adalah ayah Adin. Dia punya usaha depot buah di depan rumahnya. Dia juga membuka showroom mobil di samping depot buahnya. Entah dimana relasi antara dua usaha itu, buah-mobil, tapi katanya itu untuk keseimbangan. Om Buyung bilang ia butuh pendapatan yang besar, makanya dibuka showroom mobil. Tapi dia tidak ingin menghilangkan bisnis buahnya karena itu hobinya. Ya, dari sini aku paham 'keseimbangan' yang dia maksud.
"Kayak biasa. Belilah buah Om biar tambah laris." Om Buyung menyengir menjawab sahutanku. Ia periang dan mudah bergaul dengan semua tipe orang. Karenanya aku yang pendiam ini lepas-lepas saja bicara dengannya
"Nantilah, Om. Kubeli sekalian sama mobilnya. Hehehe,"
"Nanti terus kau ini. Sering kali aku di PHP-in. Oya, Adin ada di kamar"
Seperti biasa Om Buyung tahu maksud kedatanganku. Langsung saja aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Adin.
"HA!" Aku mengejutkannya. Tapi dia baru terkejut dua detik kemudian. Dari dulu aku yakin kalau saraf motoriknya bermasalah.
"Telat kau kagetnya," Aku langsung rebahan di kasurnya.
"Kau itu datang pakai salam, oi. Bukan macam beruk," Adin memasang tampang kesalnya. Masalahnya bukan kali ini saja aku mengejutkannya, tapi sudah sering.
"Makanya, kalau aku bilang mau ke rumah kau, siap-siaplah 5 menit setelah itu aku kagetin." Terangku sambil melihat laptop yang Adin pakai dari tadi.
"Kan aku ga pernah nyadar udah 5 menit!" Dia masih menuntut. Aku melebarkan badanku di kasurnya sehingga ia hampir jatuh. Kurang ajar, memang. Tapi inilah asiknya mengganggu Adin. Dia tidak bisa dan tidak pernah marah. Jadi aku bisa sebebasnya menjahilinya.
"Oi, oi. Macam kasur kau aja." Dia menghimpitku. Membuat kekuasaanku di kasurnya makin kecil.
"Hahaha. Iya tuan putri. Saya minggat dulu, ya," Aku pindak ke karpet berbulu di bawahnya. Adin merasa puas.
"Kulihat kau buka portal pendaftaran SMA yayasan kita," Aku melihat laptopnya tadi.
"Iya. Ayahku suruh masuk sana," Dia fokus kembali mengisi formulir registrasinya.
"Kenapa kau gak bilang ke kami?"
"Baru disuruh tadi, Ci. Heh, kau ini,"
"Hehehe, maaf. Tapi kenapa kau mau masuk sana lagi? Gak bosan kau sama Yayasan Karim itu?" Aku dan dia sekolah di SMP swasta yang cukup populer di kotaku. Ralat, di provinsiku.