"Cepat, dong, Dek! Lambat terus," Ibuku rewel seperti biasa dengan nada kesal yang tidak menyenangkan. Selalu buru-buru, entah apa yang ingin dikejarnya. Padahal calon peserta didik itu baru keluar ruangan dan belum sempat bersalaman dengan pewawancara.
"Sabarlah, Bu," Aku menenangkannya sembari menunggu calon peserta didik itu memasang sepatu dan enyah dari pintu. Sepertinya dia belum melihat wajah kesal ibuku.
"Sabar kau itu lambat! Cepat sana masuk!" Ibuku membentak, si calon peserta didik melihat kami, tersadar kalau dia menghalangi pintu masuk. Lalu ia segera mengikat tali sepatunya sembarang meskipun ia tahu bakal jatuh jika jalan cepat-cepat nanti.
Tidak ada yang salah dengan jadwal. Memang sekarang belum waktunya sesiku. Masih 10 menit lagi. Artinya, aku tidak akan telat.
"Ibu, berhentilah membentak. Lagi pula sekarang panitianya masih menyusun berkas," Aku bersuara pelan. Berharap dia tidak mendengarku karena aku takut dengan reaksinya. Namun ternyata dia mendengar dengan jelas.
"Kau ini selalu lemah. Dibentak sedikit tersinggung. Haduh, masuk saja dulu, toh bentar lagi," Dia mendorongku pelan tapi agak memaksa. Aku tidak suka sekali dengan perkataan dan perlakuannya. Kalimat yang paling kubenci dilontarkan lagi. Kamu lemah, dibentak sedikit tersinggung. Aku tidak pernah melawannya. Nyaliku kecil. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menyimpan memori buruk yang kubenci sampai sekarang. Ya, aku pendendam. Dan aku tidak tahu kapan dendam itu akan keluar.
"Kubilang tadi tidak usah ikut. Sudah pasti ibu tidak betah," Aku merapatkan gigi tanda menahan marah. Aku tetap bertahan di posisiku, tidak mau masuk ruangan. Sebisa mungkin aku menggunakan bahasa halus kepada Ibu. Tidak ingin aku menatapnya karena sangat terlihat jika aku sedang marah.
"Gak usah datar gitu suaranya," Ibuku menyindir sambil berdecak. Sungguh ini menguji sekali. Aku ingin melempar map pendaftaran yang kupegang ke mukanya. Namun, aku hanya bisa menggenggamnya erat-erat. Membuat bagian bawah kertas-kertas di dalamnya remuk. Kalian pasti heran kenapa pikiranku sekasar ini. Kuberi tahu, banyak hal-hal negatif menimpaku sejak kecil. Semuanya bersumber dari keluargaku. Itu membuatku merasa berada di arena pertarungan ketika bersama mereka sehingga setiap harinya aku merasa mereka adalah lawan.
Aku berusaha mengabaikan perkataan Ibu. Akhirnya aku menghela nafas. Mengendalikan emosi, pasrah.
"Ya sudah. Masuk saja duluan. Aku tidak mau," Aku tidak menggunakan sapaan jika sedang marah kepada seseorang sekalipun itu ibuku.
Aku kembali ke tempat duduk. Sebenarnya kekanak-kanakan sekali melakukan ini. Tapi aku hanya ingin menunjukkan kepada ibuku kalau perkiraanku tidak salah karena dia selalu meremehkan tindakanku. Lambatlah, lemahlah, tidak tangkaslah, masih banyak lagi.
Ibuku dengan kesal masuk ke ruang wawancara. 10 detik kemudian, ia kembali keluar. Aku hanya diam. Sudah kuingatkan masih juga keras kepala. Seperti biasa, Ibu yang maha benar mengomel, mengkritik panitia tersebut.
"Delapan menit lagi juga. Kok, gak bisa nunggu di dalam. Ribet sekali," Omelnya.
"Bukan ribet, tapi memang kayak gitu, Bu, aturannya," Jika mendengar sesuatu yang jelas tidak benar, aku tidak bisa menahan pendapatku.
"Aturan apaan. Toh di luar ga nyaman," Ia tidak suka omongannya ditentang.
"Kalau di dalam, kemungkinan orang-orang bisa melihat nilai tes calon-calon pendaftar lain yang seharusnya itu rahasia. Gak nyaman? Salah, Ibu yang kelainan sendiri. Di sini disediain kursi, udaranya sejuk, suhunya dua puluh tiga derajat. Kalau Ibu gerah, berarti Ibu kerasukan," Debatku balik kepada Ibu. Sengaja aku berbicara dengan ketus. Sudah tidak tahan lagi. Ini pertama kalinya aku melawan perkataannya. Aku merasa puas dan lepas beberapa lelahku. Apakah ini obat untuk mengeluarkan dendamku? Mungkin iya. Tapi jika terus-menerus melakukannya, bisa-bisa aku ditendang dari keluarga.
Hening beberapa detik. Mataku dan matanya terpaut. Ia melihatku tidak percaya, aku melihatnya seakan-akan ingin berkelahi. Orang-orang di sekitar kami melihat, merasa tidak nyaman dengan suasana yang kami buat.
"Wah, sudah berani kau melawan, ya. Kalau begitu kau saja sendiri. Sudah kutemani malah melunjak." Ibuku marah. Ia mulai mengemas barang-barangnya. Tapi, ada salah seorang Ibu yang duduk di sebelah kami angkat bicara.
"Buk, jangan begitu. Betul kata anak ibu tadi, kita tidak boleh masuk ruangan sebelum waktunya. Data-data calon peserta didik, kan, rahasia, Buk. Ada baiknya Ibu temani saja anak Ibu disini sampai selesai. " Ibu itu menahan ibuku. Ia prihatin melihatku yang sedari tadi dicela dan tidak didengarkan. Alu benci perhatian ini, rasa kasihan. Aku bukan anak lemah.
"Biar saja dia pergi. Orang tua tidak dibutuhkan untuk sesi ini," Pertama kalinya pula aku berbicara dingin dan tidak sopan ke orang lain yang lebih tua. Ibu itu terkejut, tidak ingin ikut campur lagi. Mungkin dia tahu aku sangat benci dengan ibuku, makanya dia berhenti.
"Kau lihat sendiri, kan? Anak ini patut ditinggalkan sendiri. Biar dia tahu rasanya tidak dipedulikan orang tua. Jangan kau berlagak seakan-akan benar. Aku lebih tahu anakku!" Bentak Ibu kepada ibu yang tadi membelaku. Kepala ibu menoleh kepadanya, tapi tangannya mengarah padaku.
Aku ber-'heuh' sembari tersenyum kecil meremehkan. Rasa tidak dipedulikan orang tua? Tidak usah diajarkan aku sudah terbiasa dengan perasaan itu sejak kecil. Ayah dan Ibu selalu membanggakan kakak ke setiap orang karena dia cerdas, cantik, ramah, dan gesit. Mereka juga menaruh perhatian lebih ke adikku karena dia bungsu dan satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami. Aku? hanya seperti ini ditunjukkan ke orang lain 'Ya, ini anak kedua kami. Aci.'. Seolah-olah itu selingan semata. Sesuatu yang tidak usah diberi perhatian.
"Kau remeh padaku? Kalau begitu, kau urus saja sendiri sampai selesai. Lebih baik aku segera cari bus. Selamat tinggal!" Ibu menyandeng tas dengan kasar. Aku terdiam. Bagaimana ini? aku ditinggalkan begitu saja di tempat orang sendirian. Yang benar saja Ibu, tega sekali kau pulang ke Bengkulu tanpa melihatku resmi menjadi siswa disini?
Inilah salah satu keanehanku. Aku paling benci Ibu tapi paling tidak ingin dia hilang. Dia merawatku dan memenuhi kebutuhanku sejak kecil walaupun dia sering menyakiti hatiku. Perlakuannya itulah yang menyisakan rasa sayangku kepadanya. Aku ingin menangis, tapi pasti banyak orang-orang tua 'pengasihan' yang melihat.
Aku diam saja meresponnya. Kubuka HP dan menghidupkan lagu-lagu alternative rock. Tidak aad hubungannya dengan suasana hatiku, tapi lagu-lagu tersebut membuat pikiranku teralihkan.
***
"Nomor peserta dua belas silakan masuk!" Seorang wanita kurus berbalut baju panjang sampai bawah lutut dengan rok lurus lebar dan pasmina besar menutupi dada memanggil nomor pesertaku. Pakaiannya terlihat kebesaran dengan model lama . Tidak norak karena ciri pakaiannya seperti pakaian orang-orang tempo dulu sehingga kelihatan unik.
"Saya!" Aku mengangkat tangan menyahut.