Ksatria Angkasa

Aryadi Perwira Subagio
Chapter #19

Berkumpul

]Malam itu juga prosesi pemakaman untuk orang-orang yang gugur dilaksanakan. Mayat-mayat para prajurit yang telah wafat diletakkan di atas tandu di samping lubang-lubang peristirahatan terakhir mereka masing-masing. Banyak orang datang di pemakaman umum Falton untuk memberi penghormatan terakhir kepada para pejuang yang telah berperang.

Yang pertama kali akan dimakamkan adalah Will. Pakaian yang dia kenakan sudah diganti dengan kemeja yang lebih rapi, dan tubuhnya juga sudah diberi parfum. Tandunya diangkat oleh seorang pria di kedua ujungnya, kemudian perlahan-lahan diturunkan ke dalam liang lahat. Setelah tubuh Will diturunkan, kuburannya lalu ditutup kembali dengan tanah, sebuah batu nisan bertuliskan 'Will' ditaruh di atas tanah bekas galian itu.

Kesedihan mewarnai malam itu, para kru Merope bahkan hingga penduduk Falton juga menangisi kepergian Will. Setelah itu, orang-orang lain yang gugur di hari itu pun lanjut dikebumikan.

Malam itu temaram, beberapa lampu kota menyala tapi sebagian padam. Beberapa orang yang terluka masih diam di dalam bangsal pengobatan, orang-orang lain masih beristirahat untuk makan, sebagian lainnya tertidur karena kelelahan.

Alice duduk di sebuah bangku di tepi jalan, ia menghela nafas panjang untuk mengusir kelelahan seharian ini.

“Capek?” tanya sebuah suara.

Alice menoleh ke asal suara dan melihat Carl menghampiri bangku.

“Ah iya, hari ini sangat melelahkan.”

Carl duduk di samping Alice, “Banyak sekali yang terjadi hari ini, aku kira kita bakal berhasil tapi ternyata...”

“Tidak semua hal berjalan seperti yang kita inginkan, Carl. Terkadang kita harus bereaksi dengan cerdas terhadap apa yang terjadi.”

“Termasuk keputusanmu buat memimpin Merope?”

“Saat itu suasana sedang kacau. Orang-orang terluka, Will baru saja gugur, bahkan saya pun tidak yakin saya berpikir jernih saat itu. Tapi yang jelas para kru membutuhkan seseorang untuk memandu mereka, dan kalau bukan saya maka siapa lagi yang harus jadi pemimpin mereka?”

“Itu keputusan yang hebat Alice, bahkan aku juga nggak yakin apa bisa memimpin orang lain. Keahlian masing-masing orang kan beda-beda.”

Alice menengadah ke langit berbintang, “Carl ... apa kira-kira Tuan Will suka kalau saya memimpin anak buahnya? Lalu bagaimana jika setelah ini para kru Merope tidak setuju dengan saya sebagai pemimpin?”

“Hm ... waktu pertama kau datang ke kantorku, aku cuma mikir kalau ini bakalan jadi tugas yang lebih besar dari biasanya. Tapi ternyata, kau yang jadi menggerakkan kita semua. Sampai menyusup ke Nachtigal dan nyari tahu soal Tombak Creynel. Mungkin kau nggak merasa, tapi kau yang jadi penggerak kami selama ini. Aku yakin kok kalau Will nggak keberatan, soalnya kau memang punya jiwa memimpin.”

Alice tersenyum lembut, “Terima kasih ya, Carl.”

Gedung pengobatan di Falton hanya sebuah bangunan biasa yang masing-masing ruangannya dijadikan tempat untuk mengobati orang-orang yang terluka. Satu ruangan dibagi untuk empat orang pasien dengan masing-masing pasien dirawat di satu ranjang. Kenneth duduk di salah satu ranjang dengan lengan dibalut perban, peluru di lengannya sudah dikeluarkan dan lukanya sudah diberi alkohol. Kini dia tinggal menunggu lukanya pulih.

“Anda tidak apa-apa, Tuan Kenneth?”

Kenneth menoleh dan melihat Louise menghampirinya.

“Ah iya, lenganku sudah diobati dengan lebih baik. Bisa gerak sedikit sih, tapi aku nggak tahu apa bisa buat bertarung.”

“Lebih baik tidak usah memaksakan diri, istirahatkan saja tangan anda kalau memang perlu.”

Kenneth melihat mata Louise lebih dalam, “Kau sendiri gimana? Lukamu sudah diobati?”

Louise memegang bahunya, tersingkap sebuah perban membalut bahunya.

Lihat selengkapnya