Kru radar di anjungan Merope berteriak kepada Alice, “Ada satu kapal lagi yang mendekat, sudah dikonfirmasi itu Celaeno!”
“Celaeno ... Kak Alexander juga datang?” Alice terdengar kaget saat tahu salah satu kakaknya juga ikut mengejarnya.
“Kapten, apa yang akan kita lakukan?”
“Apa mereka sudah melepaskan tembakan?”
“Belum kapten, kami juga tidak mendeteksi suara tembakan.”
“Fokus kita saat ini adalah melarikan diri, jangan menembak kalau mereka belum menembak. Lanjutkan pelarian ke selatan!”
“Siap kapten!”
Walau begitu, Alice harus memikirkan sebuah cara untuk bisa kabur dari tiga pengejarnya. Ini bukan hal yang mudah, apalagi di langit luas tanpa dinding atau bangunan untuk menghilangkan jejak.
“Kapten, ada panggilan radio dari Henry,” ujar seorang kru radio.
“Sambungkan aku dengannya.”
[Kapten Alice, kau pasti tahu kita ketambahan satu lagi kakakmu yang ngejar kita.]
“Saya tahu itu Kapten Henry, ada saran?”
[Ikuti aku, ada beberapa bangunan pertahanan sisa dari perang besar yang pemberontak gunakan. Kita akan memutar sedikit, tapi berguna buat kita.]
“Baiklah Kapten Henry, saya mengerti.”
setelah itu Typhoon mengubah haluan ke tenggara, Merope mengikuti di belakangnya. Alice memerintahkan kru radio untuk memberitahu para pilot untuk mengikuti mereka dari belakang.
Setelah terbang di atas awan untuk waktu yang lama, Typhoon menurunkan ketinggiannya hingga ke bawah awan. Di bawah sana terlihat dataran rendah dengan sangat sedikit pepohonan, lubang-lubang bekas peperangan masih terlihat di beberapa tempat.
Di bawah sana, memanjang dari utara ke tenggara dan berbelok lagi ke selatan adalah barisan pertahanan yang dulu Astalia gunakan dalam perang. Tembok memanjang menghalangi pasukan musuh datang dari timur. Setiap beberapa meter sekali sebuah menara berdiri di antara tembok, di puncak tiap menara itu terdapat sebuah senapan anti-air untuk menembak pesawat musuh yang datang.
Dulu senapan-senapan itu digunakan oleh kerajaan, tapi sekarang sudah diambil alih oleh para pemberontak. Typhoon semakin mendekat ke salah satu senapan itu, Merope mengikuti di belakangnya. Tak lama di belakang mereka berdua, para pesawat fighter Merope dan Typhoon terlihat mengikuti sambil menghindari tembakan dari pesawat fighter kerajaan. Agak jauh di belakang baru terlihat Maia, Electra, dan Celaeno.
Setelah para pesawat kerajaan itu cukup dekat, senapan-senapan anti-air itu mulai memuntahkan peluru mereka. Dua dari pesawat kerajaan jatuh terkena tembakan, sisa dari pesawat kerajaan berhasil ditembak jatuh oleh Carl, Judith, dan Henrietta.
Tapi Maia, Electra, dan Celaeno tidak bisa dilawan dengan senapan anti-air, jarak tembak mereka lebih jauh dari jarak tembak senapan-senapan itu. Electra sudah membidikkan salah satu meriamnya, dan meriam itu pun menembakkan amunisinya. Peluru meriam itu jatuh tepat di dasar menara pertahanan dengan ledakan besar, menghancurkan menara itu dalam beberapa bagian saat menara itu jatuh ke tanah.
Electra dan Maia terus menembakkan meriam mereka ke menara dengan senapan anti-air, mengurangi kemampuan para pemberontak untuk bertarung melawan pasukan kerajaan di masa depan.
Melihat kondisi ini, Alice memulai komunikasi dengan Henry, “Kapten Henry ketiga kapal itu mulai mendekat, apa anda ada ide lain?”
[Kalau begini, tidak ada pilihan lain buat kita selain mulai menembak.]
menembak kakak-kakaknya sendiri, Alice kini sudah tidak ragu lagi kalau memang itu harus dilakukan.
“Baiklah kalau begitu, saya juga akan mulai membidik kapal-kapal itu.”
Setelah itu Alice memutus komunikasi dengan Kapten Henry, lalu berpaling kepada kru anjungannya.
“Kita akan memulai tembakan, sasaran pertama kita adalah Electra!” serunya.