“Sejauh apapun lu mencoba kabur.
Lo gak akan bisa ninggalin gue.
Gue jamin !!”
-Zane Moniaga-
💞💞💞
ANANTA tak hentinya bercerita soal kekasih dalam diamnya itu. Kesal ? Sebenarnya, iya. Tapi entah kekuatan darimana, membuat Zane menghadapi ini semua dengan lapang dada.
Zane melihat mulut Ananta yang komat-kamit sedari tadi. "Please, deh Zane. Kasih gue jalan keluar. Gue udah gak kuat kayak gini terus," ujar Ananta melankolis.
Zane memutar bola matanya, jengah. "Ya udah, lu tinggal lurus aja. Belok kiri, lurus lagi. Lo udah nyampe jalan keluar pintu kelas."
Krik... krik...
Ananta menatap Zane datar. "Garing, tau gak. Garing!" Ananta membuang muka ke sembarang arah, lantas Zane beranjak dari tempatnya.
"Lu mau kemana ?"
Zane menoleh sekilas. "Tasya."
Tasya, mulu yang diurusin. Gue kapan coba? Lah, ngapa gue mikir kek gitu? Hih, Ananta bergidik sendiri.
💞 💞 💞
Ketiga sekawan itu tengah duduk di salah satu bangku pojok kelas. Mulut mereka tak henti mengunyah makanan, sesekali mengobrol. Tak jarang tangan mereka ikut ambil posisi dalam bercerita.
Beberapa hari yang lalu, Fina telah berulang tahun yang ke tujuh belas. Gia dan Azura hanya merayakan secara kecil-kecilan di sekolah, mencari kue juga kado yang hampir membuat pening kepala.
Bu Davitri baru saja keluar kelas lima belas menit yang lalu. Sebelumnya, ia memberi amanat pada Azura untuk menaruh buku-bukunya di kantor.
"Ra, nanti bawakan buku saya ke kantor ya." Azura mengangguk mantap. Rencananya, sehabis menghabiskan makanan ini mereka akan membawakan buku tersebut.
Anthon berjalan dari arah pintu kelas, diikuti Yuara juga Iqbal di belakangnya. "Ampun deh, Ra. Pantes aja lu makin..., " Ucap Anthon memberi kode.
"Apa ?" Sungut Azura diikuti lirikan tajam. "Lu mau bilang ? Kalau gue ini gendut, gitu?"
Anthon menggeleng kuat. "Enggak... siapa yang bilang kek gitu, coba ?"
Tanpa seizin Azura, Yuara mencomot makanan milik Azura. "Ih, nih tangan. Pengen gue potong ?" Tanya Azura tajam, memukul punggung tangan Yuara.
"Ya Tuhan, Ra. Gue cuma ambil dikit, lu jangan makan banyak-banyak. Kalau badan lu melar, gimana ?" Ujar Yuara yang sukses mengunyah makanan di mulutnya.
Azura mendelik. "Lu tau kan, asupan gizi gue banyak ?" Azura berdiri dari duduknya, berkacak pinggang. "Kalian... mau gue caplok, satu-satu ?"
"Set dah, Ra. Santai aja, santai. Jangan asal main caplok," kata Iqbal. Azura menatap ketiga predator didepannya itu dengan tatapan mengintimidasi. Jangan sampai dia kehilangan satu makanan lagi di atas mejanya.
Anthon membalas tatapan itu, tajam. "Lagian, kalau lu ngabisin nih semua gak bakal kuat. Mending kita bantuin," jawab Anthon mencomot makanan itu.
Gia dan Fina yang semula mencoba acuh, hanya bisa menelan ludah. Memang, dari dulu Azura begitu sensitif jika di hubungkan dengan hal pakan.
"Lu...," Azura menunjuk muka Anthon, ganas. "taruh, gak ? Gue gorok lu lama-lama!"
💞 💞 💞
Azura memeluk tumpukan buku di tangannya, erat. Tujuannya kini adalah kantor, menaruh buku Bu Davitri di mejanya. Fina ? Dia tidak ikut. Lebih memilih bergelut dengan tas dan kursi yang ia jejer rapi untuk tidur. Kebiasaan setelah makan, bahkan ketika dia merasa bosan.
Azura dan Gia berjalan melewati koridor. Mereka hanya perlu melewati lapangan tengah dan area taman agar bisa sampai di kantor. Azura menundukkan pandangannya, merasa bosan.
Gia menyenggol lengan Azura sekilas. "Ra... ada Kak Fanly." Azura menatap Gia sekejap, melihat kearah Ifanly berada. Pandangan mereka bertemu, lantas Azura kembali menunduk.
"Biarin deh, Gi. Lagi males Yura."
"Aelah.. Sok atuh, lu minta nomornya lagi," desak Gia. Azura menggeleng pelan.
"Males, Gi. Lu gak liat ? Dia duduk sama guru-guru cowok ? Yang ada mereka kasih curiga."