Ini hanya bagian kecil dari apa yang ingin kusampaikan. Tak ada yang berubah setelah tiga tahun terakhir. Aku masih pandai menyimpan pilu serta setia memagut luka yang masih tersisa darimu. Bagiku, tak ada yang benar-benar memilukan setelah kepergianmu.
Kepergianmu di sini bukan perihal kau dan aku sudah tersekat oleh jarak yang jauh. Tetapi situasi yang bercerita di mana kau yang aku kenal sekarang adalah sosok asing yang tak lagi sehangat dulu. Inilah kebersamaan yang secara tak kasat mata meninggalkan dinding pemisah.
Waktu bahkan semakin menggerogotiku, memutar waktu di mana kau dan aku masih didekatkan oleh semesta. Tentang perjalanan tiga tahun di dunia abu-abu hingga kejadian di waktu kelulusan itu pula sebagai penutup dari hidangan kehangatan yang telah kita ramu bersama.
Nyatanya, merindukanmu masih saja tiap malam hingga membuatku lupa bahwa akulah yang paling terluka di sini.
Masih hangat di ingatan. Dari awal pertemuanku denganmu untuk pertama kalinya di awal Januari 2014 di sebuah starbuks terkenal di ibu kota. Aku yang memang sedang bertedu dari hujan sedangkan kau yang hanya datang mengambil pesanan Ibumu, begitu katamu tempo hari.
Kau duduk di depanku lalu menatap segelas latte yang ada di atas meja, tepatnya di hadapanku.
"Suka latte, ya?" tanyamu padaku untuk memecah keheningan.
Aku segera menutup novel yang sedang kubaca. Percuma lagi pura-pura sibuk membaca sedang fokusku terpecah padamu kala itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu mengambil segelas latte itu dan menyesapnya kemudian karena memang masih sedikit panas.
"Tahu filosofi latte?" tanyamu lagi. Aku menggeleng sebagai jawaban karena memang aku tidak tahu filosofinya.