Di saat kau tengah merayakan keberhasilanmu dalam mematahkan apa yang telah aku bangun, aku masih setia melihatmu dari sini. Harapmu tentu saja supaya aku tidak kembali lagi padamu. Aku pun juga masih ada di sini; masih berharap serta sibuk menghitung waktu. Andai aku bisa menggenggam detik, sudah kutuntun ia untuk membawaku pada masa di mana aku belum mengenal kamu. Sebab, sebelum adanya kamu, aku masih baik-baik saja. Atau jika tidak, aku akan menyuruh detik untuk mempercepat rotasinya agar aku bisa berdiri di saat luka pemberianmu sudah sepenuhnya terkubur oleh waktu. Sesederhana itu aku meminta.
Tiga tahun terlewatkan setelah kejadian kopi pahit itu. Mungkin bagi orang lain, melupakan apa yang telah terjadi pada waktu sebelum itu adalah mudah. Tapi tidak denganku. Tiga tahun adalah tenggang terlama untukku mengejar waktu. Menyibukkan diri dengan segala hal yang pada harapku bisa membuatku lupa akan perkara yang masa itu sangat menyiksaku. Nyatanya tetap sulit, bayangan di mana kau masih setia menggenggam tanganku, menyokong lemahku, menyandar lelahku, serta menerbitkan senyumku masih saja berkelana dalam pikiranku.
Semuanya terasa sulit. Apalagi di saat kau dan aku yang sekarang belum terpisahkan oleh jarak. Andai aku bisa menuntun langkahku untuk berjalan sejauh mungkin, sudah kupastikan sekarang aku berdiri beribu-ribu mil jauhnya darimu. Tapi inilah bodohnya aku. Di saat kau sudah memupuk luka di setiap seluk beluk hatiku, kakiku masih saja terpasung oleh rindu akanmu. Hati ini masih mengharapkan kemustahilan, menarikmu kembali dalam dekapanku salah satunya.
Seperti pagi ini. Kau kembali menenggelamkan aku pada kisah yang pernah berlalu dulu. Hujan yang turun pagi ini berhasil menguliti tulang-tulang yang entah kenapa masih saja kuat menopang tubuh yang rapuh ini.
Kau lewat di hadapanku. Penampilanmu masih sama seperti dulu di kala kita masih sama-sama berjuang dari kelas satu SMA hingga lulus dan yang terpenting masih seperti yang aku suka. Tubuhmu tak banyak mengalami perubahan, kecuali tinggi badan dan juga kumis tipis yang sekarang sudah berhias di bawah hidungmu yang malah menambah kadar ketampananmu.
"Pagi!" sapamu padaku. Astaga! Ingin sekali kukarungi senyuman itu.
Aku hanya tersenyum kaku saat tiba-tiba kau berhenti. Mungkin tiga langkah dari tempat aku duduk. Kukira kau mau duduk di sampingku hingga aku pun menggeser dudukku seolah-olah tanpa sadar aku mempersilakan kau duduk. Menit berjalan, kau masih setia berdiri di depanku. Hingga kuberanikan diri menatap matamu yang tajam namun bagiku sangat menenangkan.