Aku membanting pintu seketika masuk ke dalam rumah. Napasku terburu bahkan terkesan tersengal-sengal. Guci kesayanganku yang ada di atas nakas sudah menjadi korban amukanku. Penyebabnya ini hanya karena kau. Bahkan dengan tak tahu malu, kau dan aku beradu mulut di tengah pesatnya kantin kampus hari ini.
*****
Aku dan Vito beriringan masuk ke dalam kantin setelah kelas pertamaku berakhir. Banyak pasang mata yang tertuju pada kami berdua. Mungkin mereka berpikir bahwa kami ada hubungan apa-apa karena Vito adalah satu-satunya orang yang senantiasa menemaniku tiga tahun belakangan ini. Aku memilih duduk di pojok kantin yang ada di lantai dua setelah Vito lebih dulu beranjak untuk memesan makanan. Setidaknya aku bisa melihat dengan jelas suasana kampus dari lantai ini. Hari ini masih sama dengan hari kemarin. Hujan terus saja membungkus bumi. Puas melihat guyuran hujan, aku melanjutkan pandanganku di sekitaran kantin. Begitu pesat, mungkin karena hujan membuat kebanyakan mahasiswa lebih enak beristirahat di sini.
Sekian menit, mataku terpaku pada objek yang berada mungkin sekitar delapan kursi dari tempatku duduk. Orang yang sama yang membuat tiap malamku merindukan senyumannya. Aku merogo tasku dan mengeluarkan sebuah plastik yang isinya adalah jaket yang ia berikan padaku kemarin. Dengan langkah pelan, aku mendekatinya. Sebenarnya hatiku sedari tadi bergejolak. Mungkin karena melihat perempuan yang sama; yang tiap hari kulihat bersamanya.
"Mmm... Ndre!" panggilku pelan. Ia langsung menoleh. Tatapan kami bertemu sesaat namun setelahnya ia langsung mengalihkan pandangannya dari padaku dengan menatap perempuan yang ada di depannya.
"Iya?" jawabnya singkat. Aku hanya tersenyum singkat lalu menyodorkan plastik yang kubawa.
"Ini apa?" tanyanya sebelum mengambil plastik itu.
"Jaket yang kamu kasih kemarin. Makasih, ya." Ia mengambilnya lalu langsung memasukkannya ke dalam tas miliknya. Ia tak menjawab ucapanku membuatku lagi-lagi tersentil. Dengan sangat pelan aku segera berbalik ke tempat dudukku.
"Kamu bikin apa ke Andre?" tanya Vito langsung setelah aku duduk. Aku mengambil makananku yang sudah dibawa oleh Vito dan mengaduknya pelan.
"Balikin jaketnya." Vito hanya bergumam sambil terus melahap makanannya. Sedang aku sama sekali tidak fokus pada makananku. Pandanganku terus-terusan jatuh pada Andre yang sedang bergurau dengan perempuan yang ada di depannya. Andai perempuan itu adalah aku, sebahagia apa aku sekarang ini?
"Loh... kok, cuma diaduk doang, Vel? Dimakan, dong. Keburu dingin itu. Itu latte-nya juga bakalan nggak enak kalau udah dingin." Vito kembali menyentakku. Mungkin ia sadar kalau sedari tadi aku hanya melamun. Dengan sedikit terpaksa aku menelan makananku yang rasanya tiba-tiba saja hambar. Tapi syukurlah, makanan itu bisa habis walau membutuhkan waktu yang sedikit lama.
"Biar aku saja yang bayar," ucap Vito. Ia merogo sakunya seperti mencari-cari sesuatu.
"Kayaknya dompet aku ketinggalan di mobil, deh, Vel. Kamu ada uang, kan?"