Kuberikan Abu dan Hujan

Nunonuno
Chapter #1

Lukisan Topeng yang Sebetulnya Bukan Seluruhnya Kebohongan, tapi Tidak Sepenuhnya Kebenaran.(1)

Dedicated to my sisters.

“Akan kuberikan lautan dari tangisanku. Api unggun dari tekadku. Aku yang berupa abu dan hujan akan menyuburkan kehidupanmu.”

Aster mendengar Edison mengutarakan rangkaian kalimat-kalimat. Kalimat buatan Aster, tertulis jelas pada kertas yang dipegang Edison. 

Edison mengatakannya dengan volume yang kecil. Namun, gema dari lorong universitas yang kosong ini membuat kata-kata itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. 

 Aster terdiam, menjaga tatapannya agar terus tersambung dengan lelaki yang dianggapnya bagai Kolom Trajan. Kokoh, eksistensi besar yang mempengaruhi peradaban. Sosok yang telah memenangi banyak perang dalam hidupnya dan berdiri dengan tegak di depan Aster. 

Seseorang yang selalu membuat Aster bingung, karena dirinya tidak tahu harus memberikan apalagi untuk lelaki yang sangat kuat ini. Jadi hanya hidupnya dan waktunya yang dia bisa berikan. Mau serusak dan semenyedihkan apapun, Aster hanya bisa memberikan hidupnya yang sedang dia bangun ulang. 

“Harus aku akui, ini di luar ekspektasi. Setelah kamu meminta waktu sendiri beberapa lama, aku sejujurnya tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tapi aku tidak memperkirakan akan mendapatkan sebuah lukisan dan pernyataan ini.”

Aster menoleh ke dinding di sebelah mereka berdiri di mana lukisan itu dipajang. Pameran yang dibuat organisasi kampus ini dipenuhi dengan karya-karya mahasiswa favorit. Namun, karena sudah melewati jamnya, sekarang tiada seorang pun selain mereka berdua yang memperhatikannya. Sungguh entitas yang menyedihkan. 

“Memang aku begitu kan? Kamu katanya suka aku karena aku kayak gacha, jadi aku hanya melanjutkan peranku yang tidak terduga,” jawab Aster dengan tersenyum. Dirinya melirik ke Edison yang sedang tertawa kecil. 

“Untung saja kamu tahu ini maksudnya untuk kamu. Kalau tidak rasanya tidak ada artinya juga karya ini,” lanjut Aster. Edison melipat kertas yang dia pegang dan menaruhnya di saku celana. Aster mendengar langkah kaki Edison mendekat. Edison ikut memandang karyanya Aster. 

“Malaikat yang jatuh, cukup jelas itu untuk siapa. Sejujurnya saat aku melihat karya ini, aku berpikir apakah kamu sudah mau mengakhirinya. Malaikat yang terjatuh dengan di belakangnya ada menara bagaikan babel yang runtuh terbakar matahari. Gambaran ini mempunyai konotasi negatif, jadi bayangkan betapa terkejutnya diriku saat mendapatkan surat ini.” 

Edison menghela napas. Aster menyentuh jari Edison dengan halus dan tidak yakin. Edison sebaliknya menggenggam tangan yang ragu itu dengan erat, tapi tidak sampai sakit. Mereka kembali saling menatap satu sama lain. 

“Kamu pasti tidak ingat, tapi pertama kali kita bertemu di sini. Aku berada di lautan mahasiswa baru yang tidak signifikan untukmu. Dirimu juga bukan siapa-siapa di pandanganku. Lucunya, tidak lama kemudian aku menyadari ternyata kamu adalah sosok yang sudah banyak dibicarakan orang-orang di sekitarku.”

Aster tertawa kecil ketika mengingatnya. Edison hanya mengangkat alisnya.

“Kata-katamu terhadap karyaku, benar-benar berkesan,” lanjut Aster sambil kembali menatap ke karya terbarunya. 

“Aku kira kita pertama kali bertemu di unit. Saat itu, aku mengatakan apa?”

***

Aster berpikir para dosen sedang sadis. Tugas pertama anak-anak baru langsung disuruh disertakan di pameran bersama lukisan kating-katingnya yang sudah jauh lebih mahir. Namun, Aster sendiri merasa ini adalah cara bagus untuk melihat posisinya sekarang sebagai pelukis.

Pameran Universitas Autumnal Alpheratz, kampus favorit di Kota Evenfall, selalu terhitung cukup besar. Jadi saat Aster mau mengecek lukisannya yang dipamerkan, Aster harus melewati arus orang-orang yang saling berjalan berlawanan arah.

Lihat selengkapnya