Kuberikan Abu dan Hujan

Nunonuno
Chapter #3

Lukisan Topeng yang Sebetulnya Bukan Seluruhnya Kebohongan, tapi Tidak Sepenuhnya Kebenaran.(3)

Aster masuk ke perpustakaan untuk mencari tempat mengerjakan tugas yang tenang. Mungkin setelahnya dia bisa meminjam buku novel dari sini. Saat pergi ke area buku-buku teori seni, dirinya melihat sosok yang dikenal.

“Ketemu lagi Kak,” sapa Aster dengan lembut. Edison yang tadinya sedang fokus membaca buku yang berjudul ‘Persona: Cara Mengenal Diri Dibalik Kebiasaan.’ terkejut dan hampir meloncat dari kursinya. Namun, dengan sangat cepat Edison mengembalikan ketenangannya.

“Yang benar saja, dunia sangat kecil ya,” jawab Edison sambil menghela napas.

“Cuman terasa kecil karena sudah kenal aku saja Kak. Kalau nggak kenal paling-paling kayak biasa saja. Aku yakin sebelum-sebelum ini kita juga sering berpapasan.“

“Benar, bukan kebetulan juga. Probabilitasnya tinggi, wajar kita bertemu terus karena sekampus. Hobi dan interest kita juga mirip-mirip sepertinya.” 

Aster menunjuk ke kursi di seberang Edison dan mengangkat alisnya. Edison mempersilahkan Aster untuk duduk di tempat tersebut.

Aster membuka buku catatannya dan mulai menulis. Setelah itu dia oper ke Edison.

“Aku suka suasana perpustakaan karena sunyi saja Kak, vibes nya dapat.”

“Saya setuju dengan itu.”

“Kakak introvert ya?”

“Kamu sendiri bagaimana?”

“Aku suka bersama teman-teman. Tapi sendiri seperti ini juga enak.”

“Sangat gampang beradaptasi ya.”

Edison memberhentikan tulisannya sejenak seperti sedang memikirkan jawaban. 

“Betul saya suka lelah berurusan dengan orang. Makanya perlu waktu sendiri di tempat yang tidak terlalu banyak stimulasi.”

“Mengerti Kak, aku akan berhenti dulu kalau Kakak memang perlu space.”

“Terima kasih.”

Edison kembali membaca bukunya dan Aster mulai mencari lagi buku-buku teorinya. Setelah membawa setumpuk buku dirinya mulai mencatat di halaman baru. Namun, lama-kelamaan dia bosan dan mulai menggambar suasana di depannya. Aster memperhatikan buku Edison dengan seksama dan melihat penulisnya, Clarence Matsuoka. Mengapa nama itu seperti dia pernah lihat sebelumnya?

Ketika itu terjadi Edison mengetuk buku catatan Aster, seperti ingin berbicara lagi. Aster membuka halaman paling belakang buku catatannya dan memberikannya pada Edison.

“Kamu tertarik dengan buku ini?”

Aster merasa malu ketahuan menatap lama ke arah buku tersebut. Di saat ini Aster bersyukur dengan mukanya yang orang sering bilang tidak terlalu ekspresif. Aster berharap Edison tidak menyadari kecanggungannya. 

“Ya Kak. Tapi yang bikin lebih penasaran kok kayak pernah liat nama penulisnya ya? Dia memang terkenal?”

“Dia itu anak Dokter Matsuoka. Pasti terkenal, dokter handal itu yang punya rumah sakit terbesar di sini. Ini buku pertamanya baru dirilis tahun lalu. Saya kenal dia, karena punya kenalan yang sama.”

Tentu saja sebagai anak bisnis, Edison mengenal banyak orang. Aster merasa seharusnya tidak kaget dengan informasi itu. Aster menggelengkan kepalanya untuk berhenti terkejut dan kembali menulis.

“Bagus nggak Kak?”

“Untuk sementara ini lumayan. Namun, saya belum bisa beri penilaian apabila belum selesai baca.”

“Sama kenalan saja Kakak kritis ya?”

“Saya tahu Clarence pintar, tapi saya tidak akan bias. Kalau ternyata buku ini bagus saya akan rekomendasikan. Bila kurang nanti saya kasih masukan.” 

Edison mengembalikan buku catatannya ke Aster. Aster mengetuk penanya ke dagunya, memikirkan cara bertanya ke Edison.

“Kak, kalau aku kasih karya-karya aku, apakah Kakak juga akan menjawab dengan blak-blak an?”

Lihat selengkapnya