Kuberikan Abu dan Hujan

Nunonuno
Chapter #9

Nirmana, Tidak Ada Arti tapi Mengandung Unsur-Unsur Penting dalam Komposisi, Mungkin itulah Pertemuan ini. (2)

Musim semi menghangatkan suasana yang tadinya sangat dingin. Bunga-bunga bermekaran dan walau Aster suka melihatnya, dirinya alergi dengan polen. Perasaannya menjadi bercampur aduk dengan minggu pertama musim semi. Namun, selain itu, hidupnya sedang berjalan baik-baik saja.

Ketika desas desus antar mahasiswa mengatakan bahwa Angelo akan datang ke Universitas sebagai dosen tamu, Aster hanya bisa berharap. Angelo yang merupakan lulusan Universitas ini, terkenal akan bakatnya walau masih terhitung muda. 

Banyak kritikus yang mengatakan lukisan abstraknya sangat mendalam. Sebagian tidak suka dan suka dengan karyanya karena alasan yang sama. Karyanya selalu berkesan penuh dengan keajaiban. Beberapa mengatakan gambar itu kurang menggambarkan kemanusiaan. Setiap kali itu terjadi Aster ingin membantah bahwa gambarnya selalu juga menggambarkan kepahitan hidup. Namun, kepahitan itu selalu ditimpa oleh warna-warna lainnya. Intinya, Aster adalah penggemarnya.

Saat kelas itu benar-benar terjadi, Aster tidak bisa menahan keinginannya untuk berjungkit-jungkit. Dari kelas ini Aster mempelajari juga bahwa Angelo dulu merupakan pesulap yang sering berada di Taman Pusat Evenfall.

“Semua orang mempunyai masalah dalam hidupnya masing-masing. Maka aku ingin membawa keajaiban pada hidup orang yang kutemui. Dari pengalamanku melakukan sulap, ekspresi orang-orang yang menonton adalah inspirasiku. Rasa kaget, kagum, dan setitik harapan. Itulah yang menjadi konsep dasar dari karya-karyaku.”

Aster memperhatikan kata-kata Angelo dengan seksama. Teman-teman di sekitarnya masih belum bisa menahan rasa semangatnya dan tersenyum  lebar.

“Sudah cukup banyak karya yang menggambarkan rasa sakit dan kepahitan. Itu juga bagus karena relevan, orang juga bisa menghubungkan dirinya dari pengalaman itu. Selain itu pula merupakan suatu tempat katarsis yang berguna untuk pelukisnya. Aku sayangnya tidak terlalu mampu menggambar lukisan macam itu,” lanjut Angelo dengan wibawa yang sangat Aster kagumi. 

Aster mengerti sekali apa yang Angelo sedang katakan. Seni merupakan suatu keterhubungan antara pelukis dan pengamatnya. Sebuah media komunikasi secara tidak langsung.

“Maka dari itu, aku melukis sesuatu yang berarti untuk diriku. Dan menurutku kalian juga bisa membuat sesuatu yang mungkin sudah pernah ada tapi unik dalam artian itu adalah kalian. Karya itu adalah kalian. Ayo maka dari itu mari beri tepuk tangan untuk kalian semua yang sedang menempuh perjalanan ini,” ujar Angelo sambil menepuk tangannya sendiri.

Seluruh ruangan langsung mengikuti dirinya. Beberapa anak memberikan siulan dan sorakan. Benar-benar orang hebat Aster pikir. Angelo bisa menggerakan hati banyak orang. Sama seperti karyanya.

“Selain secara teknik, yang sebentar lagi saya bahas, ingatlah, pengalaman kalian semua unik. Lukislah pengalaman itu pada karya kalian.” 

Setelah selesai kelas, Aster merasa termotivasi melukis. Dirinya sudah mau beranjak ke studio ketika tiba-tiba dipanggil. Aster menghentikan langkahnya, agak tidak percaya siapa yang memanggilnya.

“Kamu Aster bukan? Kenalannya Edison?” tanya Angelo di depannya. Aster memang mukanya seperti biasa saja tapi di dalamnya dia sangat panik dan senang. Berapa banyak orang yang sebenarnya Edison kenal?

Angelo memberi senyuman yang mencapai mata berwarna coklat tuanya. Setelah melihatnya secara dekat, Angelo juga cukup tinggi, sepantaran Edison. Rambutnya yang di cat warna Lavender benar-benar membuatnya mencolok. Ditambah lagi dirinya menggunakan kupluk khasnya. Mau kemana pun Angelo pergi dirinya selalu memakai kupluk.

“Iya Kak, saya Aster. Kakak kenal Edison juga?” tanya Aster.

“Dari muda Aster, aku berhutang padanya. Aku bisa di sini sekarang karenanya.” 

Sebagai orang yang selalu mengaku dirinya bukan orang baik, hanya orang biasa saja, Edison sepertinya sering membantu orang. Lebih menyebalkannya lagi dia mengatakan itu bukan sekedar untuk merendahkan diri atas dasar kesopanan, melainkan benar-benar mempercayai itu. Aster punya argumen baru bila mereka nanti membicarakan ini lagi.

“Oh begitu Kak. Tahu aku dari mana? Jangan-jangan dirinya sering membicarakanku,” canda Aster. Walaupun sejujurnya hanya setengah bercanda, karena mengapa banyak kenalan-kenalan Edison yang langsung tahu Aster dari penampilannya saja? Angelo tertawa kecil.

“Kamu apain sih dia? Kayak error tahu tidak dia. Dulu anak itu selalu kayak anti pacaran. ‘Apa gunanya?’ katanya. ‘Kayak begituan tidak perlu dipikirin’ katanya. Makin ke sini kok kayak ngomongin kamu terus.” 

Aster menyesal bertanya karena sekarang perutnya menegang dan mukanya memanas. Namun, Aster harus fokus, di depannya ini idolanya.

“Ah biasa Kak. Dia juga sering membicarakan Kakak. Aku baru sadar orang yang dibilang lulusan jurusan Seni yang cerewet ke dia adalah Kak Angelo.”

Aster tahu dirinya telah berhasil mengalihkan pembicaraan ketika melihat mata Angelo berbinar. Seperti mau menangis.

“Anak itu, astaga dirinya itu kalau di depan aku sok-sok tidak peduli tapi ternyata Edison membicarakan diriku dengan sering,” kata Angelo dengan nada yang terharu. 

“Tidak hanya itu Kak, kalau sudah membicarakan teman-teman dekatnya mukanya langsung hangat,” lanjut Aster. Sebab, itu kenyataannya. Sepertinya Edison harus belajar untuk mengkomunikasikan rasa sayangnya dengan lebih baik.

Lihat selengkapnya