Aku terbaring bosan di pelataran pendopo fakultas dengan badan tergeletak lemas seperti cakwe terkena air cabe. Aku terbaring di pendopo berpetak yang cukup muat untuk 6-8 orang anak tongkrongan, dengan atap dan pohon-pohon rindang yang mengelilinginya.
Pagi ini sebetulnya ada mata kuliah, namun aku malas untuk masuk karena dosennya menurutku gak jelas. Ya mukanya gak jelas, mata kuliah yang diajar gak jelas, bahkan mungkin saja aku sendiri pun gak jelas. Aku lelah mengikuti kelas pagi ini dan aku memutuskan untuk meluruskan tulang punggungku juga mataku terasa sangat perih sehabis begadang semalam.
Selain karena malas masuk kelas, aku juga sebetulnya sedang menunggu seorang teman karena ada sedikit urusan yang menurutku lebih penting dari kelas pagi ini. Masih menunggu dengan tubuh yang rebah. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba lompat seekor kucing hitam ke atas tubuhku yang sedari tadi rebahan, membuatku sontak kaget terperanjat.
“Kambingg, eh… kucing...sialan bikin kaget aja”
Kucing hitam. Ya seekor kucing hitam yang tidak asing lagi bagiku, bahkan bukan hanya bagiku tapi mungkin bagi orang-orang sefakultas. Kucing ini memang sering sekali berkeliaran di sekitar fakultas seni dan dengar-dengar selentingan gossip, kucing ini pemiliknya adalah seorang yang berkedudukan di kampusku, ada juga yang bilang kucing ini adalah jelemaan mahasiswa kampus yang durhaka karena menyelewengkan uang semester kuliah, hahaha entahlah.
Ngomong-ngomong soal fakultas, ya benar aku adalah seorang tukang sapu, eh bukan, maksudku seorang mahasiswa di universitas yang ada di ibu kota, aku mahasiswa tingkat akhir jurusan seni rupa. Entah rupa-rupa warnanya atau buruk rupa yang jelas ini fakultas seni rupa. Apasih garing ya. Hahaha serius emang garing sih.
Aku terperanjat bangun setelah kucing hitam itu mengusik acara rebahanku yang santai. Setelah mengagetkanku, kucing hitam itu terlihat santai saja bahkan malah gantian dia yang rebahan, aku yang bangun karena dikagetkan olehnya.
Aku masih menatap kucing hitam itu dengan sedikit sebal, namun tidak untuk membalas perlakuannya. Begini-begini aku ini pecinta kucing, buktinya aku sangat menyukai makanan yang namanya nasi kucing. Ya aku benar-benar pecinta kucing ucapku pada diri sendiri. Pikirku dalam hati membanggakan diri sendiri. Namun, sebetulnya itu informasi yang tidak penting untuk diketahui sih ehehe.
Aku bangkit dan menghampiri kucing hitam itu, ia masih terbaring di dekatku, saat aku hampiri lebih dekat ia membuka matanya lantas bangun dan menghampiriku lalu duduk terbaring dipangkuanku. Aku mengelus-elus lehernya yang dibalut bulu hitam legam. Bulunya yang lebat membuat hampir semua orang tertarik dengannya.
Aku masih memangku kucing itu dan tak lama kemudian muncul seorang pria gempal berkumis tebal datang sambil melemparkan sebotol air mineral ke arahku, aku dengan tangkas menangkapnya.
“Good boyy, hahaha” kata pria itu.
“Ah, si Om main lempar-lempar aja, untung gue jago Om, kalo gak, lumayan itu botol kena muka” jawabku sambil membuka dan meminum air pemberiannya
“Iya santuy Mar” sambil menyunggingkan senyum yang tertutup kumis tebal.
Dia adalah orang yang aku tunggu sejak tadi, dia adalah sahabatku, Roman Sutisna, biasa kupanggil Si Om, kau tau kenapa? Alasannya karena ia lebih tua dariku. Bukan, bukan setahun atau dua tahun tapi sepuluh tahun lebih tua dariku namun, ia berkuliah denganku ditingkat yang sama. Suatu ketidaklaziman jika orang yang usianya kepala tiga namun masih berkuliah di tingkat S1 seharusnya dia sudah dijenjang S2 bahkan mungkin saja S3 ya kan? entalah aku tak tahu alasan pastinya seperti apa yang jelas ia adalah teman terbaikku sampai saat ini. Soal ospek apa kau tanya si Om ikut? Ya benar… tentu saja tidaklahh hahaha.
“Udah lama di sini? Gak kelas lu ya?”
“Ya iya Om, kalo gue kelas mah ga di sini” jawabku sambil masih mengelus-elus kucing hitam di pangkuanku.
“Itu kucing masih lengket aja sama lu boy, lu kasih apa dah? Sini gue bawa makanan nih buat tuh kucing”
Si Om menyodorkan kotak bekal kecil entah apa itu, tapi dari baunya sepertinya itu ikan untuk kucing hitam ini. Ia heran kenapa kucing ini sangat nyaman denganku, ya seperti sebelumnya telah aku bilang kucing hitam ini sangat terkenal di Fakultasku bahkan lebih terkenal dibandingkan aku sebagai mahasiswa sini. Kalau si Om beda cerita, dia sangat terkenal di fakultas ini karena yaa… bisa dilihat perbedaannya sih.
Kalau membahas mengenai kucing ini, memang benar kata Si Om kalau kucing ini memang sangat menempel padaku, entah perasaanku saja tapi sepengetahuanku kucing hitam ini memang sering mondar-mandir sekitar fakultas seni namun tak pernah sedikit pun ia mau mendekat atau dielus-elus oleh orang lain selain aku.
Pada beberapa kesempatan kucing ini memang mendekat pada orang lain seperti saat orang lain memberikannya makanan, lebih dari itu tidak. Banyak yang tidak ingin mendekat juga denga kucing hitam ini karen mitos-mitos yang telah lama beredar yang katanya kucing hitam itu pembawa sial. Apa iya ya? Hmmm.
Si Om duduk di sampingku sambil memberikan ikan yang ia bawa untuk si kucing hitam ini dan yang dikasih langsung sigap beranjak dari matanya yang tadi terpejam. Si Om memberikan ikan kepada kucing hitam itu layaknya ia memberi makan anaknya. Masih sambil memberikan kucing itu makan, Si Om memulai percakapan.
“Ini kucing sebetulnya punya siapa ya?”
“Loh bukannya itu inventaris kampus?” jawabku asal sambil nyengir.
“Yeehh emang dikiranya ini barang” jawab Si Om.
“Ya abis kita semua di sini gatau pasti sih punya siapa, Cuma denger gossip-gosip doang kan”
Kami melanjutkan perbincangan kami perihal kucing ini dan juga pekerjaan, walaupun aku jarang masuk mata kuliah tetapi setidaknya aku membayar uang kuliahku dari hasil kerjaku. Lho? lalu kalau aku bayar kuliah dengan hasil keringatku harusnya aku lebih menghargai dan bukannya bolos ya? hahaha.
Ya sebetulnya ini juga karena efek terlalu lelah sih aku juga tidak sering bolos, hanya jika kepalaku sedang mumet huft. Oh iya, Si Om ini tidak lain adalah orang yang memberikan pekerjaan padaku.
“Mar, semalem kafe aman kan?” tanya dia padaku.
“Iya aman santuy, Om” jawabku singkat.
Meski dibilang kafe, namun sebetulnya yang kami bicarakn itu hanyalah warung burjo alias bubur kacang ijo atau orang-orang juga sering menyebut warung kopi. Entah kenapa si Om tetap saja menyebutnya itu kafe mungkin biar kedengaran keren atau juga ia tak bisa membedakan mana kafe dan mana warung bubur kacang ijo. Emangnya ada gitu menu sekelas starbucks pake bubur kacang ijo dan santan? atau minuman legend yang disebut STMJ? Hahaha membayangkannya saja membuatku senyum-senyum sendiri. Di Starbucks ada STMJ? hahahaha
“Ini ga ada kelas lu, Om?” tanyaku
“Lhaa, gimana sih lu Mar? Kelas mah ada itu di dalem” jawabnya sambil nyengir.
“Waduhh. Kalah srimulat sama lu Om”
“Sialan, gue ga setua itu oii” protes si Om sambil memukul lenganku.
“Kelas gue nanti siang Mar” sambungnya sambil masih asyik menyuapi si kucing hitam.
“Gue masih bingung dah Om”
“Bingung kenapa Mar?” tanya si Om padaku.
“Lu kenapa ga ngambil kelas karyawan dah? Kenapa lu malah milih kelas biasa bareng anak-anak muda seumuran gue gini?” sahutku heran
Si Om tidak menjawab dan hanya tersenyum saja. sebetulnya pertanyaan ini sudah beberapa kali aku ajukan pada si Om, namun jawabannya tidak aku peroleh dan dia hanya tersenyum. Ya tersenyum menyeramkan khas Om-om. Hahaha tidak, aku hanya bergurau.
Waktu menunjukkan pukul 10 dan kelas pertama seharusnya sudah selesai, tapi aku masih belum beranjak dari tempatku duduk.
Ngantuk. Berat. aku ga kuat, biarkan aku tidur saja. Apa sih? Hahaha. Si kucing hitam sudah menandaskan ikan yang diberi oleh si Om. Ia kemudian kembali ke pangkuanku dan tidur lagi seperti sebelumnya. Enaknya jadi kucing pikirku.
Sebetulnya aku menunggu si Om di sini bukan tanpa alasan, aku ingin membicarakan padanya bahwa pekerjaanku di kafe sepertinya perlu bantuan orang. Meskipun kafe (yang sebenarnya warung burjo) milik si Om itu menunya biasa saja, namun tiap hari ramai pengunjung. Itu juga karena Kafe kami dekat dengan stasiun kereta dan biasanya orang-orang yang mampir itu tidak lain adalah para penumpang kereta yang baru pulang kerja, pulang sekolah, pulang kuliah dan macam-macam.
Minggu lalu aku sudah membicarakannya dengan si Om dan ia setuju untuk menambah satu atau dua karyawan untuk membantu pekerjaan di Kafe.
“Jadi siapa orangnya Mar?” si Om mulai bertanya.
“Ada Om” aku melihat jam di pergelangan tangan. “bentar lagi juga dateng orangnya, kemarin udah gue bilang selesai kelas langsung ke sini aja”
Tak lama kemudian ada suara yang memanggilku.
“Oii Marun!!”
Aku menoleh ke sumber suara dan itulah orang yang sudah aku dan si Om tunggu. Seorang wanita manis yang manisnya ngalahin martabak terang bulan hahaha. Sumpah dah dia memang manis.
“Lu gak kelas ya Mar? Udah gue cariin di kelas lu padahal” tanya wanita itu sedikit memperlihatkan ekspresi sebal kepadaku.
“Kan udah gue bilang kemarin, abis selesai kelas langsung ke pedopo aja”
Lalu sedetik kemudian ekspresi sebal itu berubah menjadi riang setelah ia melihat makhluk hitam berbulu yang sedang berleha-leha dipangkuanku. Ia pun lekas mengambil si kucing hitam itu dari pangkuanku dan pindah ke pangkuannya. Si kucing hitam itu tidak berontak hanya sedikit terusik karena ia sedang berbaring setelah makan. Jika dia manusia mungkin dia akan mengernyitkan dahi atau yang lebih parah lagi ngegas hahaha.
Si Om lalu mengalihkan pandangan matanya kepadaku dengan tatapan tanda tanya.
“Ini orangnya, Om. yang kita tunggu” jawabku membalas tatapannya.
Lalu gadis itu pun sadar akan kehadiran si Om dan menaruh kembali kucing hitam ke pangkuanku.
“Eeh… Om Roman ya? Kenalkan Om, aku Naya temennya Marun” sapa gadis itu ramah.