Kuparkirkan si Burhan di parkiran depan warung burjo, aku lihat warung burjo si Om masih ramai seperti biasanya.
Oh ya, warung burjo si Om bisa dibilang beda dari burjo kebanyakan, karena meskipun ini warung burjo tapi ruangannya cukup luas, bangunan yang sebetulnya ruko dua lantai tersebut memuat lima deretan meja dan bangku yang memanjang namun sirkulasi udaranya bagus, karena banyak bukaan ventilasi udara.
Lantai atas adalah tempat menyimpan stok barang dan terdapat kamar si Om.
Tempatnya pun cukup nyaman interiornya pun bisa dibilang cukup unik dengan gambar-gambar mural yang terpampang memenuhi beberapa permukaan dinding dan beberapa bingkai dengan gambar juga lettering art.
Bukannya mau sombong (padahal sebenarnya emang mau sombong sih) hahaha, semua interior mural yang menghiasi dindingnya ini merupakan hasil karyaku.
Mungkin alasan si Om bilang tempat ini kafe ya karena itu juga, tapi meskipun begitu warung burjo ini tidak kehilangan ciri khasnya sebagai warung burjo, salah satu buktinya meski interior dalamnya lumayan unik, namun dibagian depannya terpampang spanduk banner norak bertuliskan:
“Kafe Inn a.k.a Burjo Romantis”
Gimana norak kan? Oh iya Romanttis itu kepanjangan dari nama si Om, Roman Sutisna Hahaha.
Lalu inn itu karena warung burjo ini buka 24 jam dan kadang sampai ada yang nginep di sini, tidur di sembarang kursi dengan posisi yang aneh-aneh.
Kalian mungkin tidak asing dengan tata letak warung burjo atau warung kopi kebanyakan.
Di sini pun sama, ada meja warkop yang merupakan tempat memesan sekaligus stand memasak beserta kompor dan peralatan memasak dan bahan-bahan lain yang letaknya ditengah ruangan.
Kalau diibaratkan program acara televisi Master Chef, nah meja warung ini merupakan stand memasak makanannya.
Aku pribadi menyebutnya dengan sebutan stand meja warung.
Kulihat dari jauh saat aku mulai masuk ke warung burjo, seorang pria sedang memasak mie instan di tempat yang tadi aku sebutkan.
Dia memasak dengan skill khas yang dimiliki oleh abang-abang warkop atau burjo.
Masih aku lihat dari jauh. Ia membuka beberapa bungkus mie instan dengan sekali tepok disetiap bungkusnya dan mie instan pun langsung nyemplung ke dalam panci rebusan.
Sungguh suatu skill efisien yang tak tertandingi. Chef Juna kalo melihat ini bakal minder kayaknya. Percayalah kalian harus melihat skill ini sekali seumur hidup.
“Duduk aja dulu Nay. Kalo mau pesen panggil aja” aku menyuruhnya duduk.
“Oke. Mar” jawab Naya.
Kemudian Naya aku tinggal di salah satu meja. Lalu aku menuju ke ruang belakang untuk menaruh beberapa barang.
Satu-dua pelanggan yang sudah sering kongko-kongko di sini menyapaku dengan ramah dan aku menjawabnya santai.
Di satu barisan meja memanjang beberapa pelanggan anak-anak SMA ngobrol sambil ketawa cekikikan, satu-dua ada yang menyapaku.
“Wehh… Aa Marun, sehat a?” sapa salah satu bocah SMA yang biasa dipanggil Kretek.
“Oii aduh.. ini jam segini ngapain lu pada nongkrong di sini?” jawabku sambil mengaduh.
“Hehe iya. Bosen nih a, lagian di sekolah kaga belajar kok” jawab temannya yang lain.
“Iye nih A, di sekolah tinggal acara-acara ekskul ga jelas. Minggu depan udah libur palingan” sambung salah satu temannya lagi.
“Oh gitu toh. Oke deh. Kirain pada bolos lu. Bolos di sini gue gimbalin bulu idung lu pada” sahutku bercanda dan mereka pun tertawa.
Aku melanjutkan langkah lagi ke ruang dalam. Kulihat juga ada anak kuliahan yang nongkrong di sini dengan teman-temannya.
Dibarisan meja yang lain ada bapak-bapak yang tengah asyik ngobrol dengan kopi panas yang tersaji di meja dan sebatang rokok disela-sela jari tangan.
Mereka mengobrol dan sesekali tertawa dengan suara ketawa yang nge-bass khas bapak-bapak.
Mereka ngobrol perihal berita di televisi yang tergantung di salah satu sudut ruangan.
Entah itu politik atau ekonomi, dari hal pribadi sampai urusan setoples garam di rumah tangga, di sini semua tersaji.
Beberapa dari mereka mengenalku dan menyapa saat aku melangkah menuju ruang belakang dan aku membalasnya dengan senyum dan anggukkan ramah.
Aku hampiri pria yang sedang memasak tersebut yang sedari tadi sudah aku lihat dari kejauhan. Ia masih sibuk memasak di stand meja warung.
“Widiihh, si ujang Marun sudah datang” sapa pria itu ramah kepadaku dengan logat sunda yang tidak enak di dengar, karena dirinya sebetulnya orang ambon.
Anda bingung? Sama saya juga. Tapi sungguh dia orang ambon asli dan ia adalah sahabatnya si Om.
Pria itu sering dipanggil mamang Maghrib. Kamu tau kenapa dipanggil Maghrib? Ah tak usah dijelaskan. Ya tentu saja karena namanya memang Maghrib.
Bukan, bukan karena perawakannya yang agak gelap kebiruan seperti langit maghrib, tapi mungkin karena itu juga sih. Ah tidak, aku hanya bergurau.
“Itu kenapa tangan kamu Mar?” tanyanya sambil melirik ke arah lenganku yang luka.
“Biasa Mang gatel bekas digaruk” jawabku nyengir.
“Mana ada digaruk sampai begitu”
“Digaruk aspal maksudnya hahaha”
“Kamu mah ada-ada aja, digaruk aspal pula, hadehh. Oh iya ini kamu bawa apa?” tanya Mang Maghrib sambil menunjuk kotak kandang besar berjeruji besi yang aku jinjing sedari tadi aku masuk.
Aku kemudian menjelaskan padanya bahwa si Om memutuskan untuk memelihara kucing dan aku pun menjelaskan perihal luka besotku ini.
Mang Maghrib hanya mengangguk-angguk sambil berhenti sejenak dari pekerjaan dapur, memperhatikan luka besot-besot ditanganku.
“Kamu mah Mar, Mar. hati-hati atuh lain kali ya” responnya khawatir, ia berhenti sejenak dari pekerjaannya sambil melihat-lihat lenganku yang besot.
“Alah santuy atuh Mang, yaudah, gue mau ke belakang dulu ya Mang. Sekalian naro si kucing di kamar si Om”
“Oke sip” ucap Mang Maghrib mengacungkan jempol sambil masih sibuk melanjutkan pekerjaannya.
Lalu aku melanjutkan langkah ke ruang belakang, namun sedetik kemudian aku berbalik arah menemui Mang Maghrib lagi.
“Oh iya Mang. Gue udah dapet pegawai baru. Nanti Mamang temuin ya?”
“Oalah, udah dapet ya Mar?” tanya Mang Maghrib.
“Iya itu orangnya tuh di meja depan” sambil menunjuk ke posisi Naya berada.
“Oke siap pisann atuh” jawab Mang Maghrib masih dengan logat sunda khas dirinya.
Aku menuju ke ruangan belakang, menaruh barang-barang di sembarang tempat.
Di belakang aku bertemu dengan temanku Dipo, ia temanku dan pelayan di sini juga.
Kulihat ia sedang sibuk mencuci piring sambil mendendangkan sebuah lagu yang ia nyanyikan dengan suara yang kalau didengar jadi pengen nyambit orangnya.
Ia tidak menyadari kedatanganku. Ada satu hal yang perlu aku sampaikan tentang Dipo temanku ini.
Tapi sebelum itu, aku akan menghampirinya dari belakang.
Aku meraih serbet untuk ngelap piring basah yang ada di dekatku.
Aku berjalan sedikit berjinjit, ia masih sibuk bernyanyi sementara cucian piring dan gelasnya sudah hampir selesai. Aku semakin mendekat dan
1..2..3..
“DORR!!”
““Eh dorr mati, yah mati dah gue dah yah mati dah”” spontan ia kaget.
Lalu aku menyanyikan lagu ulang tahun.
“Happy birthday Dipo, Happy birthday Dipo. Ada kue ulang tahun silakan di makan. Aaaa”
Aku menyuruhnya membuka mulut dan ia menuruti perkataanku tanpa penolakan.
Hap!! langsung, serbet lap yang barusan aku ambil telah mendarat mulus ke mulutnya yang sekarang tersumpal.
Aku pun terbahak-bahak melihat tingkahnya. Ya benar Dipo itu latah orangnya.
Dipo kemudian membuang serbet yang tadi mendarat dimulutnya.
“Hihh lu rese banget sih lu MARBOTT”