Malam melata seperti makhluk hidup, diam-diam, perlahan, namun membawa kematian. Di luar, angin menderu bagai jeritan dari alam lain. Pepohonan bergoyang liar, mencakar langit dengan ranting-rantingnya yang menyerupai tangan mayat.
Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari, jam yang dipercaya sebagai batas dunia manusia dan makhluk gaib.
Di sebuah asrama para karyawan perkebunan karet, jauh di pinggiran kampung, Leni sedang terlelap. Ia tinggal seorang diri malam itu, di wisma milik perusahaan karet yang sering disebut warga sekitar sebagai “rumah dingin”.
Tidak karena suhu, tapi karena aura yang membekukan. Rumah itu belum terlalu tua, baru berusia belasan tahun, namun menyimpan sejarah yang tak pernah dibicarakan secara terbuka.
Angin tiba-tiba menggila.
Sebuah sosok berjalan dalam gelapnya malam. Langkah-langkahnya pelan namun pasti, menjejak tanah yang basah oleh hujan sore tadi. Udara terasa dingin menusuk kulit, dan kabut mulai turun tipis, menyelimuti jalan setapak kecil di pinggiran hutan.
Tak ada suara, kecuali desiran angin yang melintas seperti bisikan. Bulan tersembunyi di balik awan pekat, menyisakan kegelapan yang begitu pekat hingga bayangan pun enggan muncul.
Namun sosok itu tetap melangkah, bukan sosok manusia, tetapi bayangan sebuah bentuk seperti manusia.
BRAK!
Jendela kamar Leni yang seharusnya terkunci rapat terbuka dengan perlahan, seakan ada kekuatan tak terlihat. Udara dingin menyeruak masuk, bukan dingin biasa, dingin ini menggigit, membawa bau besi karat, tanah basah, dan darah yang sudah mengering.
Dari balik kegelapan itu, muncul sosok mengerikan itu.
Seekor kucing raksasa. Tapi ini bukan sembarang kucing. Bulunya hitam dan tebal, seolah asap pekat yang berubah menjadi daging. Tubuhnya sebesar anak manusia. Matanya menyala merah terang, seperti bara neraka. Taringnya panjang, menonjol keluar dari rahang bawahnya.
Dan di kaki depannya... melingkar jam tangan antik, benda manusiawi yang tampak salah pada sosok binatang.
Ia berdiri tegak di bingkai jendela, dengan keanggunan iblis yang mengerikan. Tatapannya menembus kamar, langsung menuju Leni.
Makhluk itu turun dari jendela dengan keheningan aneh. Begitu cakarnya menyentuh lantai, jendela tertutup kembali secara otomatis, seperti dikendalikan oleh kekuatan gelap.
Tanpa suara, ia mendekat ke ranjang Leni. Langkahnya tak terdengar, namun lantai kayu berderit pelan, seakan rumah itu sendiri takut dengan apa yang tengah berjalan di dalamnya.
Leni menggeliat pelan dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahinya meski udara begitu beku.
Makhluk itu berhenti di tepi ranjang, lalu berdiri dengan dua kaki belakangnya. Kedua kaki depannya terangkat ke udara, mencakar-cakar angin dengan gerakan aneh seperti ritual.
Mulutnya berkomat-kamit, memuntahkan bahasa yang tidak dikenal oleh manusia. Bahasanya seperti bunyi tulang patah dan darah mendidih.