“Hah!”
Teriakan kecil itu terlepas dari mulut Gernis ketika matanya menangkap sesuatu yang tak biasa di antara kabut tipis yang menggantung di area pancuran. Tubuhnya membeku.
Air dari pancuran bambu masih mengalir membasahi kulitnya yang setengah berbusa oleh sabun. Tangannya yang semula sedang menggosok leher, terhenti. Sabun jatuh ke tanah yang berlumpur.
Matanya membelalak, pupilnya membesar, dan wajahnya mendadak pucat seperti tanpa darah.
Hutan pagi itu masih sunyi. Kicau burung belum begitu ramai, dan embun yang belum menguap memperkuat kesan mistis. Pancuran bambu, yang biasanya menjadi tempat kesukaannya menyatu dengan alam, pagi ini terasa menyeramkan.
Saat matanya terbiasa dengan pencahayaan remang-remang, ia mulai bisa menangkap bentuk tubuh yang terbujur diam di antara semak, tak jauh dari pancuran.
Perasaan tak enak menyergap. Detak jantung Gernis naik drastis. Dia nyaris tak bisa menelan ludah.
“Astaga…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Apa itu? Sosok itu… seseorang… atau sesuatu… tergeletak begitu saja. Tak bergerak.
Tubuh Gernis seolah dikendalikan naluri. Ia maju selangkah, meskipun seluruh tubuhnya menolak. Ada tarikan rasa penasaran, namun lebih kuat rasa takutnya. Dan saat ia bisa melihat lebih jelas, itu adalah mayat, seorang perempuan, telanjang dan penuh luka.
Ia menjerit dalam hati dan langsung berbalik, berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah.
Busa sabun masih menempel di tubuhnya. Rambut panjangnya basah dan acak-acakan. Kakinya menjejak tanah berlumpur dan bebatuan tanpa alas, menyebabkan beberapa kali ia hampir tergelincir. Nafasnya berat, terdengar seperti isakan, matanya mulai berkaca-kaca.
Di tengah perjalanan, Gernis nyaris menabrak seseorang, Edeng, saudara angkatnya, yang baru hendak ke pancuran membawa selembar kain handuk dan gayung plastik.
“Gernis? Ya Tuhan, kenapa kau seperti dikejar genderuwo?!” Edeng terkejut setengah mati melihat Gernis dalam keadaan panik, kemban menutup tubuhnya yang sungguh menggiurkan, dan berbusa.
Gernis terengah-engah. “Anu… Itu…” katanya terbata.
Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kalimat yang bisa keluar dengan sempurna. Hanya desahan panik dan mata membelalak.
“Apa, Nis? Bicara yang jelas!” desak Edeng sambil memegang bahu Gernis.
Dengan suara nyaris menjerit, Gernis akhirnya berkata, “Mayat! Ada mayat di dekat pancuran!”
Wajah Edeng berubah. Antara bingung, takut, dan tidak percaya.
“Apa?! Serius?!”
Tanpa menjawab, Gernis menarik lengan Edeng, setengah menyeretnya kembali ke arah pancuran. Nafasnya masih tidak teratur, dan tubuhnya masih menggigil bukan hanya karena udara pagi, tapi juga karena rasa takut yang menancap dalam-dalam.
Pancuran itu terletak di pinggir kebun karet, dikelilingi oleh semak dan pohon-pohon besar yang membuatnya sejuk namun agak tersembunyi. Tak banyak orang yang datang pagi-pagi sekali seperti Gernis. Ia memang suka mandi subuh karena merasa lebih dekat dengan alam.
Sesampainya di sana, Edeng membelalakkan mata. Di bawah pancuran, tubuh perempuan tergeletak. Tanpa pakaian. Tak bergerak. Kulitnya pucat kebiruan. Dari mulutnya menganga, terlihat barisan gigi yang menyeringai.
Dada kirinya berlubang, dan bagian sensitifnya terlihat mengerikan. Ada darah yang sudah mengering, membentuk warna cokelat kehitaman di tanah dan kulitnya.
Siapa ya? Rasanya kenal …, desis Edeng perlahan.