Kucing Iblis

Yovinus
Chapter #3

03-Masuk Kandang Buaya


Edeng sedang tenggelam dalam dunia Pijar-Pijar Kekuasaan, sebuah buku garapan Salandra yang penuh intrik dan kebusukan politik. Ia duduk menyilangkan kaki di kursi kayu tua di kamar mungilnya, matanya terpaku pada halaman yang membongkar kerakusan manusia atas kekuasaan.

Tiba-tiba, tok-tok-tok... tok... tok-tok…, ketukan berirama terdengar dari pintu. Tidak keras, tapi lembut dan penuh gaya. Seolah si pengetuk tidak ingin mengganggu, tapi tetap ingin hadir.

Edeng langsung tahu. “Itu pasti ketukan Gernis,” gumamnya sambil menandai halaman bukunya.

“Masuk aja, nggak dikunci kok,” katanya setengah berteriak.

Pintu kayu itu membuka pelan. Dan benar saja, sosok semampai dengan rambut terurai dan senyum menggoda muncul dari balik pintu. Wajahnya cerah, mulus, tanpa jerawat sebutir pun. Tubuhnya ramping, padat, dan... ya, cantik. Sangat cantik.

“Gernis,” desah Edeng, agak gugup, seolah keindahan itu tak pernah bosan mengejutkannya.

Gernis, anak tunggal dari istri pertama Pak Ceknang, majikan sekaligus orang tua angkat Edeng. Sejak usia enam tahun, Edeng sudah tinggal bersama keluarga itu. Kedua orang tuanya meninggal tragis, tersambar petir saat pulang dari ladang.

Sejak itu, Edeng diasuh Pak Ceknang, disekolahkan sampai lulus sarjana Ekonomi di Universitas Tanjungpura Pontianak. Kini, ia kembali ke desa untuk membantu usaha keluarga.

“Duduk, Nis. Tapi maaf ya, kamarnya berantakan kayak habis dihajar badai deadline,” kata Edeng sambil menyingkirkan buku dan bantal dari kursinya.

Gernis duduk dengan anggun, senyum manisnya tak lepas dari wajah. “Mas lagi baca apa sih? Kok serius banget.”

“Rahasia,” jawab Edeng, menggoda.

“Ciee... Jangan pelit dong. Kasih tau atuh,” kata Gernis sambil mencoba merebut bukunya.

Refleks, Edeng menarik buku itu menjauh. Terjadilah kejar-kejaran mini dalam kamar sempit itu. Gernis tertawa cekikikan, sementara Edeng terengah-engah menghindar.

Tiba-tiba, tanpa sengaja, tangan Edeng menyentuh sesuatu yang membuat jantungnya nyaris copot: bagian dada Gernis.

Sejenak dunia berhenti berputar.

“Maaf! Maaf, Nis!” desis Edeng, panik bukan main.

Wajah Gernis bersemu merah muda, seperti dadu yang dilempar ke meja keberuntungan. Tapi dia diam saja. Tidak marah. Tidak bicara. Cuma diam. Dan itu justru membuat Edeng makin salah tingkah.

“Sungguh, aku nggak sengaja,” katanya lagi, nyaris memohon. Ia menyerahkan buku yang tadi dipertahankan mati-matian. “Ini... bukunya...”

Gernis menerimanya, melihat sekilas, lalu mencibir. “Hmmph.”

“Kok nggak dibaca?”

Gernis menggeleng. Edeng makin kikuk, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri jajan.

“Kamu ke sini ada perlu, Nis?” tanya Edeng, mencoba mengalihkan suasana yang mendadak beku seperti kulkas rusak.

“Kenapa, nggak senang aku ke sini?” sahut Gernis agak ketus.

“Bukan gitu... maksudku, siapa tahu kamu perlu bantuan.”

“Halah... Mas ini,” Gernis mendadak tersenyum lebar. “Jelas dong. Masa aku nyelonong masuk kandang buaya kalau nggak ada perlunya?”

Edeng tertawa lega. “Buaya, aku?”

“Nggak sih... tapi sejenis!”

“Hah? Emang ada jenis buaya lain?”

“Ada dong. Kamu tuh buaya jinak,” kata Gernis sambil nyengir.

Edeng tertawa kecil. Percakapan dengan Gernis selalu terasa ringan, meski hatinya tak pernah ringan saat dekat dengannya. Bukan karena minder, meskipun ia hanya anak yatim piatu dan Gernis anak orang kaya, tapi karena ia takut. Takut melukai gadis itu. Takut jika perasaan yang ia simpan selama ini malah menyakiti.

"Mas kok diam?" Gernis memotong lamunannya.

"Enggak, cuma... mikir."

"Apa bedanya mikir sama melamun?"

"Melamun itu ngelantur, mikir itu fokus."

Lihat selengkapnya