Pikiran Gernis terbang jauh, mengembara dalam hening. Hanya beberapa hari tak bertemu Edeng saja, rasanya seperti ada yang hilang dari hidupnya. Apalagi kini, sudah dua tahun lamanya mereka tidak bersua.
Sejak Gernis melanjutkan kuliah di Pontianak, mereka benar-benar terpisah jarak. Liburan semester ini, ayahnya justru menyarankan ia mengikuti kursus komputer. Tapi Gernis nekat pulang. Ada satu alasan kuat: ia ingin bertemu Edeng.
Apakah ini cinta? Apakah ia telah benar-benar jatuh hati pada lelaki itu? Dan yang lebih membuat hatinya gelisah, apakah Edeng tahu perasaannya?
Ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah, Edeng selalu baik padanya. Lelaki itu selalu hadir saat dibutuhkan, selalu memberi bantuan tanpa diminta. Namun soal cinta? Tidak pernah sekalipun Edeng menunjukkan isyarat itu.
Bahkan, sikap Edeng padanya tak ubahnya seperti seorang kakak pada adiknya.
Gernis menggigit bibir. Berdosakah ia bila menyayangi laki-laki yang dianggap anak sendiri oleh ayahnya? Tanpa sadar, ia mengelus dadanya, menenangkan degup yang mulai tak karuan.
“Melamun, ya?” Suara Edeng membuyarkan lamunannya.
“Ah… nggak kok. Cuma merenung.” jawab Gernis, menirukan nada lembut Edeng.
Mereka saling menatap — sejenak, dan kemudian pecahlah tawa mereka, keras dan bebas, seolah ingin melarikan diri dari ketegangan yang menggantung di udara.
Namun suasana kembali berubah saat Edeng berkata pelan, “Oh ya... Apa pendapatmu tentang kematian Leni?”
“Maksudmu?” tanya Gernis bingung.
“Jantung dan hatinya yang hilang itu… serta…” Edeng tak sanggup melanjutkan. Ada kegelisahan dalam sorot matanya.
Dia merasa tidak enak menyebutkan hal yang sangat sensitif itu di depan Gernis. Rasa sayangnya menyebabkan dia sangat menghormati Gernis.
“Diperkosa, maksudmu?” tanya Gernis pelan, seperti takut mendengar jawabannya.
Karena di kalangan kawan-kawan mereka yang sudah kuliah, bahasanya sudah sangat bebas. Lebih-lebih kawan mereka yang suka main Games, sehingga kata-kata anjir, setan, babi, bangsat itu sudah menjadi hal biasa.
“Ya,” jawab Edeng, lirih.
“Sepertinya… aneh, ya?” lanjutnya.
“Apa yang aneh?” desak Gernis.
“Aku merasa… yang membunuhnya bukan manusia.”
“Kenapa bisa berpikir begitu, Mas?” suara Gernis mulai menggetar.
“Kalau manusia... mana mungkin jantung dan hatinya hilang begitu saja?”
Gernis tercekat. Kata-kata itu masuk akal. Tapi ia mencoba menyangkal.
“Mungkin pelakunya maniak, atau orang dengan gangguan jiwa?”
“Bisa saja. Tapi... tetap saja rasanya mustahil.”
“Kalau menurut Mas, siapa pelakunya?”
“Mungkin… manusia keturunan iblis,” gumam Edeng seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Udah, Mas! Aku ngeri…” potong Gernis cepat, tubuhnya sedikit merapat mendekati Edeng.
“Justru kamu harus dengar,” desak Edeng, meski dengan nada yang lembut. “Siapa tahu iblis itu belum selesai. Siapa tahu dia masih mencari korban berikutnya…”
Gernis bergidik. Bulu kuduknya berdiri. Ia memeluk dirinya sendiri.
“Jadi menurut Mas, kematian Leni itu... tidak wajar?”
“Ya. Dan itu yang menggangguku selama ini…”
Kini Edeng termenung. Tatapannya kosong, dalam. Sementara Gernis hanya bisa menunggu dengan jantung berdegup keras.
“Aku khawatir... di sekitar kita, ada seseorang yang masih membawa darah iblis. Atau paling tidak... memiliki ilmu iblis.”