Sore menjelang senja, kabut turun lebih awal di dermaga kayu belian milik perkebunan karet Pak Ceknang. Angin membawa aroma asam lateks dan sisa-sisa getah mentah yang menguar dari gudang penyimpanan.
Dari kejauhan, suara mesin ganda speed boat 200 HP di paralelkan enam buah mesin, meraung seperti lolongan makhluk laut purba, memecah keheningan Sungai Kapuas yang mendadak terasa kelam.
Perahu itu berharga lebih dari satu milyar, milik pribadi Pak Ceknang. Namun bukan nilainya yang menarik perhatian sore itu. Melainkan siapa yang turun dari dalamnya.
Seorang wanita, usia tak lebih dari dua puluh lima tahun, melangkah naik ke atas dermaga. Gaun ungu yang ia kenakan melambai pelan, tampak kontras sekali dengan kulitnya yang pucat-pucat... nyaris transparan.
Di dadanya, tepat di puncak bukit kembar, tersemat sebuah bros berbentuk kupu-kupu berwarna biru langit yang tampak seperti bergetar sendiri. Sementara dari leher jenjangnya, tergantung seuntai kalung mutiara, berkilauan seperti benda hidup dalam cahaya redup senja.
Ia adalah Marulina. Istri kedua Pak Ceknang. Dan sekaligus ibu tiri Gernis. Kecantikannya aneh. Terlalu sempurna. Senyumnya lembut, tapi dingin. Kulitnya licin, nyaris tak bernapas. Dan matanya, mata itu menyimpan kilau kosong, seperti sumur tua tak berdasar.
"Cepat sekali pulangnya, Mam? Katanya tiga minggu? Bosan ya?" sambut Pak Ceknang, suaranya terdengar setengah ragu.
Wanita itu hanya tersenyum. Bibirnya seolah bergerak, tapi suara yang keluar tak langsung menyatu dengan gerakannya. “Aku rindu... Pa...” desisnya lirih, seperti suara angin malam di antara reranting karet yang meranggas.
Pak Ceknang mengulurkan tangan. Wanita itu menyentuhnya. Dingin. Beku. Tapi pria itu tertawa kecil, menutupinya dengan manja. Ia terlalu buta oleh pesona muda istrinya.
Mereka berjalan menuju mobil. Beberapa karyawan yang melihat paha Marulina tersingkap karena sapuan angin, merasa jantung mereka seperti dicekik oleh tangan gaib. Salah satu dari mereka, anak muda bernama Sariun, mendadak mimisan dan gemetar hebat.
Tak ada yang tahu kenapa.
Land Cruiser milik Ceknang meluncur pelan melewati blok-blok jalan tanah merah yang membelah lahan karet. Pohon-pohon karet tampak seperti berdiri berdesakan, batang-batangnya melengkung tidak wajar, seperti ingin menyembunyikan sesuatu.
Marulina bersandar pada jok kulit mobil. Matanya terpejam, tapi kelopak matanya bergerak-gerak, seolah ia sedang melihat sesuatu dalam kegelapan batinnya.
Pak Ceknang, seperti biasa, menyetir sendiri. Ia tidak suka sopir. Katanya, mempercayakan nyawa pada orang lain di tengah hutan adalah keputusan bodoh. Tapi hari itu, ia mulai meragukan dirinya sendiri.
“Ikut sembahyang nanti malam, Mam?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
“Di rumah kita?” jawab Marulina, suaranya terdengar jauh, seperti gema dari gua kosong.
“Bukan. Di rumah keluarga almarhum Leni…”
Marulina diam. Leni. Nama itu seperti menabrak dinding kesadarannya. Pelan-pelan ia mengangguk, tapi dengan ekspresi seperti baru mendengar nama itu pertama kali.
“Oooohhh…” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Sementara itu setelah beberapa menit, Pak Ceknang mengusap dahinya yang basah oleh keringat. Udara di dalam Land Cruiser terasa aneh, panas dan menekan, seperti dipanaskan dari dalam.
Ia melirik ke arah AC, memastikan bahwa putarannya sudah maksimal. Namun hawa panas itu tetap saja tak berkurang. Sementara itu, di sebelahnya, Marulina duduk dengan tenang. Wajahnya teduh, seolah tidak merasakan suhu yang membuat Ceknang nyaris sesak napas.
Gaun ungu tipis yang dikenakannya bahkan tak melekat di kulit, seolah hawa panas sama sekali tak menyentuh tubuhnya.
"Aneh... Mama tidak merasa panas?" tanya Pak Ceknang curiga.
Wanita muda itu membuka mata perlahan, lalu tersenyum tipis. “Tidak, Pa. Biasa saja, kok.”