Kucing Iblis

Yovinus
Chapter #9

09-Kalung Pelemah Urat Tulang Iblis

        

Okok Keang menatap dasar tempayan kecil yang ada di hadapannya. Orang tua yang rambutnya sudah berubah warna itu menatap air dalam tempayan di depannya tanpa berkedip.

Air dalam tempayan pusaka itu dipakai Okok Keang untuk Nginou, yaitu melihat sesuatu yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Di dalam air yang permukaannya seperti cermin itu, tampak sebuah bayangan.

"Bagaimana, Guru?" desis Edeng.

"Betul dugaanmu. Yang melakukan pembunuhan itu adalah Korovou."

"Tapi siapa orangnya, Guru?"

"Tidak jelas terlihat, sebab dia menyelubungi tubuhnya dengan kain hitam."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Tampaknya laki-laki..."

"Siapa yang menjadi sasarannya, Guru?"

"Mungkin Pak Ceknang atau Gernis."

"Apakah kita tidak bisa mengetahuinya?"

"Untuk sementara belum, sebab dia sengaja menyembunyikan dirinya, dan rohnya disimpan di tempat lain."

"Apakah bisa dilawan, Guru?"

"Maksudmu siapa?"

"Kalau saya, bagaimana, Guru?"

"Hhm, perasaanmu bagaimana?"

"Justru aku tanya, Guru."

Orang tua itu tampak berpikir sebentar sambil menatap Edeng, seolah mengukur kekuatan muridnya ini.

"Kamu sudah melakukan semedi di gunung selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan dan minum seperti yang pernah kusuruh beberapa tahun yang lalu?"

"Sudah, Guru, tapi..."

"Tapi apa?"

"Tidak ada tanda-tanda alam seperti yang Guru sebutkan..."

"Semut?"

"Tidak ada, Guru..."

"Kalajengking?"

"Juga tidak."

“Hawa dingin?”

Edeng menggelengkan kepalanya.

"Ular dan harimau?"

"Apa lagi itu. Mereka juga tidak datang..."

"Aneh," desah Okok Keang.

"Apakah semua persyaratannya sudah kamu penuhi?"

"Tidak ada yang kurang, Guru."

"Pakaianmu?"

"Saya melakukannya dengan telanjang bulat, Guru!"

"Aneh." Lagi-lagi orang tua itu bergumam.

Lama dia berdiam diri. Kepalanya yang sudah mulai plontos itu seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apakah kamu pernah digigit anjing?" kata Okok Keang akhirnya.

Edeng berusaha mengingat. "Pernah, Guru! Sewaktu saya masih kecil."

Orang tua itu tersenyum. "Pantas. Pantas sekali tidak ada yang datang," katanya sambil manggut-manggut. "Kalau begitu, kamu tidak sanggup menghadapinya."

Lihat selengkapnya